#9 - Destination: I

317 23 4
                                    

Hari Senin (kemarin) berlalu dengan aku yang memutuskan untuk bolos sekolah dan bersemedi di dalam kamar seharian suntuk. Toh, aku udah bakalan pindah hari Rabu mendatang. So basically, bisa dibilang semua tugas dan PR yang kukejar mati-matian, semuanya sia-sia. Lagian, udah tahu muridnya bakal pindahan, masa tetap disuruh ngejar ketertinggalan tugas dan PR?

School is nothing but hell, sometimes.

***

Alarm-ku berdering tepat pukul 06.00 pagi. Seperti biasa, hal yang pertama kulakukan setelah mematikan alarm adalah meneguk air. Aku baru sadar, berarti Kars akan bolos sekolah kalau dia menepati janjinya hari ini. Sejujurnya, aku belum berniat bertatap muka dengannya. Tapi apa boleh buat, besok aku udah pindahan. Dan aku nggak mau menyesali apa pun sebelum aku berangkat ke Bandung.

Hari ini aku mengenakan kemeja putih berlengan panjang yang bermotif batik di kerahnya dan sepasang legging hitam polos, juga sepasang sepatu kets berwarna putih. Nggak perlu bertanya lagi, ini paksaan Mama. Kalau pilihanku sendiri, I must have gone with kaos oblong kegedean and a pair of plain jeans, with a pair of my all time favorite slippers for sure.

"Ma, ini bajunya terlalu formal. Emang aku mau ke acara apaan pakai baju ginian?" tanyaku risih.

"Aduh, udah bagus itu, Sayang. Tinggal rambut kamu, Mama kepang, mau ya?"

"NGGAK, MA. Mama pakai nanya lagi. Kayak nggak kenal anak sendiri aja."

"Ya udah deh. Nih, sarapan dulu. Bentar lagi Kars pasti sampai."

Mama menyuguhkan semangkuk ubi rebus di hadapanku. Aku menghabiskan 2 buah ubi, kemudian mengambil tas sandangku dan menunggu di ruang tamu. Mama mengikutiku ke ruang tamu dan duduk berhadapan denganku.

"Anak Mama udah gede, ya. Mau pergi nge-date, pakai acara bolos sekolah lagi. Serius, anak sekarang canggih banget," ganggu Mama.

Aku hanya mendengus mendengar pernyataan Mama, nggak tertarik untuk membahas apa pun soal Kars.

Nggak lama kemudian, terdengar suara klakson mobil dari luar. Oh, Kars pakai mobil Papanya hari ini. Aku keluar dari rumah dan melihat pintu kemudi mobil sedan hitam itu terbuka. Kars turun dari mobil dengan senyum yang menghiasi wajahnya, seperti biasa. Dia mengenakan kemeja hitam polos berlengan pendek dan sepasang jeans biru tua, dilengkapi sepatu Converse hitam dan kacamata berbingkai hitamnya, gosh. Readers, I really wish you could see him in person.

Kars berjalan sampai ke teras rumah, kemudian menyapa. "Pagi, Tante. Kars izin bawa anak Tante bolos sekolah hari ini, ya. Hahaha."

"Oh, iya, Sayang. Bawa aja, jangan lupa kembaliin tapi, ya," gurau Mama.

Aku hanya memasang ekspresi datar selama Mama dan Kars ngobrol. Tapi ekspresi ini nggak bertahan lama, sampai Kars menyudahi percakapan dengan Mama. Dia menggenggam telapak tanganku, lalu menariknya dengan ringan. Sambil berkata, "Yuk, Kal."

Shit.

Kars belum pernah menggenggam telapak tanganku. Selama ini, hal paling mentok yang pernah dia lakukan untuk menarik atau mendorongku adalah dengan cara menggenggam lengan bagian bawahku atau menepuk punggungku.

***

Aku duduk di sebelah Kars dengan canggung, dengan dia yang sedang memutar kunci untuk menghidupkan mobil, mencari posisi paling nyaman untuk menggenggam stir, kemudian menginjak gas. Mobil pun meluncur dengan mulus.

"Kal, ngomong dong. Masih marah, ya?" Kars memulai pembicaraan.

Aku masih menatap lurus ke arah jendela bagian depan mobil, nggak merespon.

"Yah, padahal aku mau cerita."

"Cepat, ngomong," ketusku.

"Nah, gitu dong. Kalau kamu nggak bersuara, aku-nya ngeri sendiri, Kal," jawabnya sambil cengengesan.

"Ya mau cerita apa, cepat."

"Nanti malem, ya. Yang sabar. Hehe. Tapi kamu janji dulu jangan ngambek lagi. Aku lagi pengen senang-senang hari ini bareng kamu. Kamu cukup ikutin aku aja, ke mana pun kita. Oke?"

"SIM saya sudah jadi, nyonya. Jadi, tenang aja, siap?" tambahnya sambil tersenyum secerah matahari. Eye-refreshing, I must say.

"Kal, aku yakin kamu suka tempat yang kita tuju sekarang. Yakin."

Selama 15 menit awal perjalanan, Kars terus ngerocos tentang apa pun, tanpa respon dariku. Jujur, aku salut. Dia nggak ikutan ngambek atau justru marah karena aku yang nggak kunjung bersuara. Sampai akhirnya aku luluh, dan memutuskan untuk membuka mulut.

"Kars."

Dia melihat ke arahku dengan ekspresi sedikit terkejut.

"Capek juga ya, dengarin kamu ngerocos tentang hal-hal nggak penting tanpa aku berkomentar."

Sebuah senyuman lebar bermain di wajahnya. Dan aku pun nggak tahan untuk ikut memainkan seulas senyum kecil di wajahku.

***

20 menit berlalu.
Aku tau jalan ini. Jalan ini menuju tol Jakarta - Bandung. Saat Kars mengendarai mobil memasuki tol, aku langsung tersentak.

"Kars!"

Dia nggak menjawab, hanya tersenyum simpul, tetap menatap lurus ke depan.

"INI KE BANDUNG? NGAPAIN? GILA, AH. AKU BESOK BARU KE BANDUNG, KARS!"

Aku panik.

"Udah, ikutin aja. Kamu tidur aja, kira-kira 3 jam baru sampai. Kamu nggak ngantuk?" balasnya santai.

"Tenang aja, Kal. Ini hasil kompromi aku sama Mama Papa kamu, kok. Mereka udah izinin. Papa kamu pulang ke Jakarta hari ini, besok barengan Mama kamu berangkat ke Bandung. Kamu tau, kan?" tambahnya.

"IYA, TAU. TAPI AKU NGGAK TAU AKU BAKAL PERGI KE BANDUNG DULUAN. SAMA ANAK YANG BARU DAPAT SIM PULA," jawabku dengan nada panik.

"Ah, santai aja kali, Kal. Kamu kayak lagi diculik om-om pasar aja," timpalnya bercanda.

***

Aku memang nggak tahu apa yang direncanakan Kars, sampai pakai acara berangkat duluan ke Bandung segala. Tapi yang kutahu, ini cukup. Lebih dari cukup, malah. Saat ini, rasa senang dan penasaran sedang meluap-luap dalam diriku. Mengetahui Kars merelakan satu hari penuh untuk menghabiskan waktu bersamaku, sudah lebih dari cukup. Dan untuk sementara, aku melupakan perasaanku yang tidak terbalaskan.

Karsten, ListenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang