#20 - A Lovely Change

373 32 6
                                    

Aku dan Kars sedang duduk di dalam taksi biru yang disesaki bau asap rokok. Si Pak Supir yang terlihat acuh tak acuh sangat merisaukanku, ditambah dengan Kars yang sedari tadi terlihat risih karena kakinya yang sakit, aku benar-benar dibuat pusing saat ini.

"Pak, kita ke rumah sakit ya, yang mana aja deh. Yang paling dekat," ujarku.

Si Pak Supir tak membalas, langsung menginjak gas. Aku hanya bisa harap-harap cemas kalau kami akan selamat sampai tujuan ditemani muka kriminal bapak itu.

"Kal, ngapain ke rumah sakit? Ini gak ada apa-apa. Emang mau bilang apa ke dokternya?" protes Kars.

"Ada ya manusia yang bisa maksa untuk tetap lanjut berenang padahal si manusia dodol itu lagi naik betis? Entah gimana caranya, kamu ini manusia atau bukan, Kars?" cibirku.

"Roger, Madame! Kita ke rumah sakit sekarang." Kars mengalah, terkekeh kecil. Melihatnya masih mampu tersenyum, membuatku merasa semua akan baik-baik saja.

"Besok temani aku terima medali, oke? Jam 8 pagi, aku jemput. Mau ya?" tambahnya lagi.

"Enak banget tuh mulut ngomong mau jemput. Kamu nggak boleh nginjek gas seminggu ke depan, Kars. Ototmu putus baru tau!" omelku.

"Iya, iya, Dok. Besok saya jemput, pakai taksi. Mau ya?"

Aku tersenyum, lalu mengangguk pelan. Aku sudah capek menyembunyikan perasaanku. Dan aku berencana untuk membebaskan perasaanku, perlahan-lahan.

***

Dan sesuai tebakanku, Kars mengalami kejang otot. Ototnya nggak koyak, a good thing to be thanked for. Tapi cukup parah dan mengkondisikannya untuk tidak berlari, berjalan terlalu jauh, dan tidak berdiri terlalu lama selama satu minggu penuh.

"See, Kal? Semuanya baik-baik aja," senyumnya.

"Baik-baik your ass. Kalau kamu ketahuan ngelakuin apa yang dilarang dokter tadi, aku rantai kamu, Kars."

Senyum Kars belum luntur. Setelah diam selama kurang lebih 5 detik, dia melangkah satu langkah mendekat. Dia membentangkan tangannya, dan menjeratku dalam pelukannya. Satu tangannya melingkar di punggungku, satu lagi mengelus bagian belakang kepalaku. Dan fyi, dia melakukan ini di tengah-tengah koridor rumah sakit yang berpenghuni lumayan banyak.

"Jangan komentar. Sebentar aja."

Aku masih terlalu kaget untuk menjawab.

Hening sebentar.

"You know I like you, right?"

Mataku langsung membulat sebulat-bulatnya. Aku merasa bola mataku bisa melompat keluar kapan saja saking kagetnya.

"Jangan jawab dulu. Bukan pertanyaan itu yang aku mau kamu jawab. Bukan sekarang, dan bukan di sini."

Kars melepaskan pelukannya dan menopangkan kedua tangannya di bahuku.

"Jadi sekarang, all I want to say is that... Aku, Karsten Dillon — suka, sayang, cinta, apa pun itu namanya. Sama kamu, Kaliska Widi."

"Dan sekali lagi aku tekankan, jangan jawab apa pun sekarang."

Dia tersenyum, lalu mengenggam tanganku dan menarikku menuju pintu keluar rumah sakit.

***

Aku mengangkat lengan kiri Karsten, ingin membaca jam tangan hitamnya. Pukul 07.25. Aku sedang berada di dalam taksi dengannya, yang untungnya tidak berbau asap rokok seperti kemarin.

"Kars, kita nggak telat nih? Belum hitung-hitung macet lagi. Mama Papa kamu udah di sana?" Aku mulai risau.

"Kalau telat tinggal diwakilkan coach. Mama Papa juga udah di sana," jawabnya ringan.

"Aku yang mau ambil medali kok kamu yang risih, Kal?" godanya, menepok dahiku.

Aku membalas dengan cara menghantam (dalam konteks main-main) lengannya, just because kakinya sedang dalam kondisi memprihatinkan. Nggak membalas lebih jauh, Kars malah mengulurkan tangan kirinya yang panjang, memposisikannya di belakang leherku, dan menekuk sikunya. Membentuk sebuah posisi merangkul yang terkesan friendly, but as warming yet loving as it really is.

***

Kami tiba tepat waktu di stadion. Kars tidak perlu diwakilkan. Saat namanya dipanggil, dia menaiki podium kejuaraan dengan kaki pincang dan dengan bangga menerima kalungan medali peraknya.

Saat turun dari podium, Kars diserang sekitar 10 cewek hiperaktif yang membawa macam-macam barang. Mulai dari bunga, cokelat, sampai scrapbook. Kars tetap menerimanya dengan senyum manis, kemudian beramah-tamah dengan mereka sejenak. Tak lama memandanginya dari kejauhan, aku mendapati dirinya sudah berjalan ke arahku.

Setelah kami hanya dipisahkan oleh jarak 30 cm, dengan tanpa suara, Kars mengalungkan medalinya padaku.

"Kenapa, Kars?" tanyaku bingung, sedikit salah tingkah.

"Nggak ada. Biar kayak di drama-drama korea gitu aja. Scene-scene yang katanya bikin baper, yang nggak akan pernah bisa kumengerti," kekehnya.

Selang satu detik, aku langsung melangkah mendekat dan melingkarkan tanganku pada badannya. Kepalaku hanya sebatas bahunya, lewat sedikit! Dan aku mulai merasakan kepalanya menunduk, menyentuh kepalaku. Yep, I'm pretty sure he touched his lips to my head. Hair, to be exact.

"Kal, kayaknya kamu nggak perlu jawab pertanyaanku kemarin aku juga udah tau deh," bisiknya dengan nada menggoda.

Aku langsung melepaskan pelukanku dan memandangnya dengan ekspresi kesal yang kubuat-buat.

"But you're not mine yet. Lulus UN dulu, baru pacaran. As you said all this time. Dan aku sangat yakin Kaliska Widi si pengikut ajaran bahwa pacaran sama sekali nggak penting, sudah mulai goyah pendiriannya," ledeknya.

Belum aku sempat merespon kata-kata sialannya barusan, Mama dan Papa Karsten mendatangi kami.

"Di sini kalian rupanya! Baru kami tinggal ke kamar mandi sebentar, udah ngilang aja," kata Mama Kars.

"Halo Om, Tante."

"Memanglah. Salut Om sama kalian, nggak pernah goyah persahabatannya. Nempel terus ya kayak permen karet," timpal Papa Kars dengan ringan.

"Kars koreksi sedikit deh, Pa. Anak ini udah naik pangkat sekarang, jadi calon pacar." Kars menarikku dalam rangkulannya dan tersenyum.

Karsten, ListenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang