Bab 1

1.4K 71 2
                                    

Desember 2016

Sungjae.

Kata orang, semakin kita bertambah usia maka sudah seharusnya kita menjadi orang yang lebih dewasa. Kata orang pula, semakin kita bertambah usia maka kita akan menjadi lebih bijaksana dari sebelumnya. Namun mungkin hal itu tidak berlaku bagi Yook Sungjae. Kenyataannya, di usianya yang menginjak umur dua puluh satu tahun tidak mengubah hal apapun dalam diri Sungjae. Dia masih menjadi sosok yang sama, Sungjae si keras kepala juga orang yang lebih mementingkan ego dan gengsi dari apapun. Sungjae yang sama sekali tidak bisa mengatur emosinya. Juga, Sungjae yang mementingkan kepentingannya sendiri daripada orang lain. Hal itu mungkin yang menyebabkan orang-orang berpikir Sungjae adalah orang yang dingin dan tidak berperasaan.

Sungjae akui memang benar. Bahkan kejadian tiga tahun lalu belum mampu mengubahnya menjadi orang yang lebih baik.

Tiga tahun lalu. Seorang gadis yang masuk ke dalam hidupnya. Gadis yang mampu meluluhkan hatinya hanya dalam waktu singkat juga menghancurkan dunianya hanya dalam hitungan detik. Bukan, mungkin bukan sepenuhnya salah gadis itu apabila Sungjae bisa sedikit saja melunturkan ego dan gengsinya mungkin kejadiannya tidak akan seperti itu dan dampaknya tidak akan sampai hari ini. Kandasnya hubungan mereka membuat Sungjae mengerti, bahwa dalam suatu hubungan bukan hanya satu pihak saja yang salah, namun keduanya.

"Sungjae-sshi." Panggil orang itu membuat Sungjae tersadar dari lamunannya. Sungjae membenarkan posisi duduknya dan menerima jabatan orang itu.

"Yoochun Hyung, lama tak bertemu. Apa kabar?" Ucap Sungjae, mungkin terdengar sangat basa-basi.

Yoochun tertawa sinis dalam hati mendengarnya. Yoochun duduk tepat dihadapan Sungjae dan menatap sebuah americano yang masih mengepul, tanda belum lama dihidangkan di atas meja.

"Kau sudah menyiapkan semuanya, rupanya."

"Aku berusaha yang terbaik, Hyung."

Yoochun tak kuasa lagi menahan rasa kesalnya. Tak ada lagi tatapan hangat, senyum manis namun kali ini Yoochun lebih memilih untuk memberikan tatapan sinis pada Sungjae. Merasa muak untuk berpura-pura lebih lama lagi.

"Kalau alasanmu meminta kita bertemu untuk-"

"Ya, itu alasannya." Potong Sungjae cepat. Tidak perduli apakah ia akan terlihat kurang ajar karena menyela pembicaraan orang yang lebih tua darinya.

Yoochun mengepalkan tangannya di bawah meja. Kalau ini bukan di tempat umum, Yoochun yakin ia akan membuat wajah Sungjae tak berbentuk saat itu juga. Sungjae tahu hal itu, sangat. Sungjae sangat tahu bagaimana pria dihadapannya sangat membencinya, bagaimana pria itu sangat ingin menghabisi nyawanya. Setiap detatilnya, Sungjae sangat tahu. Namun, Sungjae sangat bersyukur setelah hampir tiga bulan lamanya ia berusaha menghubungi pria itu dan berharap kalau mereka dapat bertatap muka, meluluhkan segala benteng ego yang selama ini mendarah daging dalam diri Sungjae, memohon dan mengemis untuk bertemu hari ini.

"Apa yang ingin kau perbaiki lagi? Tidak ada gunanya, sama sekali."

"Setidaknya biarkan aku untuk meminta maaf padanya." Jawab Sungjae, mencicit pelan. Jujur, Sungjae sangat lelah untuk bersikap acuh, Sungjae sangat ingin meminta maaf pada apa yang telah dilakukannya pada gadis itu tiga tahun lalu. Sungjae mencintai gadis itu, sangat. Apabila masih ada kesempatan, Sungjae ingin memperbaiki semuanya.

"Everythings change, Sungjae. Dia sudah bahagia." Tutur Yoochun, kali ini mengangkat gelas americano-nya dan menyesapnya pelan. Menikmati sensasi kesegaran dari espresso yang tidak terlalu pahit tersebut. Membiarkan indra pengecapnya menjejaki rasa itu. Sangat pas. Mungkin lain kali Yoochun harus datang ke sini lagi, cafe ini memiliki americano terenak mirip seperti yang ia coba di Eropa.

REMEMBER THAT. [ ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang