Bab 6

407 42 4
                                    

Apa kabar?



Hanya satu kalimat singkat, namun mampu mengacaukan semuanya. Mengacaukan kehidupan Sungjae. Bahkan, tanpa harus mengetahui siapa pengirimnya, Sungjae tahu siapa yang mengiriminya pesan singkat tersebut dua hari lalu. Sungjae masih ingat dalam benaknya, bagaimana reaksi tubuhnya saat membaca pesan tersebut. Ia harus berpegangan pada meja kantornya karena kakinya melemas. Ia merasa kalau pendegarannya mendadak tuli karena fokusnya hanya berada pada satu titik. Tenggorokannya bahkan terasa kering. Ia juga harus merelakan ponselnya menyentuh lantai dengan keras.

Beribu-ribu pertanyaan hinggap dalam benak Sungjae. Ia bingung dengan sikap orang itu. Kenapa baru sekarang ia menanyakan kabar Sungjae setelah dua hari berlalu? Kenapa tidak di hari itu, saat mereka bertemu dan berpandangan satu sama lain? Kenapa gadis itu tidak menelponnya dan lebih memilih mengiriminya sebuah pesan? Kenapa?

Apa gadis itu tidak tahu bahwa Sungjae sudah nyaris hampir gila mencari keberadaan gadis itu? Apa gadis itu tidak tahu bagaimana ia memimpikan hal yang sama setiap malam? Apa gadis itu tidak tahu bahwa, sampai detik ini Sungjae masih mencintainya?

Tidak, gadis itu tidak tahu. Karena, kalau gadis itu tahu pasti dia menunggu Sungjae. Yang gadis itu tahu mungkin, Sungjae sudah memiliki tambatan hati lain selain dirinya. Tiga tahun tanpa kejelasan maka dari itu gadis itu lebih memilih untuk melanjutkan hidup, dan Sungjae tidak heran apabila gadis itu lebih memilih opsi membuka lembaran baru daripada tetap tinggal pada halaman yang sama. Karena, apabila Sungjae berada dalam posisi gadis itu dia juga akan melakukan hal yang sama, persis.

Jarinya mulai kembali mengetik sebuah kalimat, seperti; aku baik-baik saja, apakah ini Sooyoung? atau baik, ini siapa? dan beberapa kalimat senada hanya saja gaya bahasanya yang berbeda. Walaupun sebenarnya ia sudah tahu pengirimnya, ia bertindak bodoh dengan berpura-pura tidak tahu. Bisa dibilang sekedar basa-basi belaka.

Tangannya terhenti di udara dan nafasnya tercekat saat tanpa sadar ia mengetikkan sebuah kalimat; aku merindukanmu.

Tapi sama saja, sama seperti apa yang dilakukannya di depan pintu rumah Sooyoung malam itu. Kalimat itu hanya menggantung di ujung lidah, tak pernah terucapkan sama sekali. Kata yang ia ketik hanya sempat tertulis, tak pernah terkirim.

Dan untuk sekali lagi, Sungjae membunuh perasaannya sendiri.

***

Sungjae berusaha mengikhlaskan semuanya, semua hal yang terjadi kepadanya belakangan ini serta fakta yang terkuak ternyata Sooyoung sudah dapat hidup bahagia. Seharusnya dia senang, lagipula kedatangannya jauh-jauh dari Inggris kembali ke Korea hanya untuk sebuah permintaan maaf dan mengatakan penyesalannya selama ini. Sungjae tidak pernah berharap lebih kalau Sooyoung akan mau menerimanya kembali menjadi kekasihnya, sama sekali tidak. Walaupun ia tidak bisa menampik dalam hati kecilnya, ia berpikiran demikian. Namun visi dan misinya kembali ke Korea bukan itu, utamanya. Lagipula dalam hitungan kurang dari sebulan dia sudah bisa kembali ke Inggris karena alasan kembalinya ia ke Korea adalah mengurus beberapa urusan perusahaan dengan client yang kebetulan berasal dari Korea.

"Sajangnim, client kita sudah sampai." Ucap Sekretaris Oh membuat Sungjae mengalihkan pandangannya dari laptop ke arah lain, mencari-cari sosok yang merupakan rekan bisnisnya kali ini. Tepat saat itu pandangan mereka bertemu dan keduanya sama-sama terkejut. Merasa dipermainkan dengan takdir.

"Sajangnim, ini Nona Park, client kita kali ini. Nona Park, ini Tuan Yook." Sektretaris Oh memperkenalkan kedua individu itu, namun sebetulnya tidak perlu. Karena mereka berdua jelas tahu pribadi masing-masing bahkan sangat mengenal baik. Sungjae berusaha menyadarkan dirinya dan beredeham pelan, membuat Sooyoung juga tersadar dari lamunannya. Sungjae berusaha profesional dengan mengulurkan tangannya. "Senang bertemu denganmu."

Formal. Bahkan terkesan sangat formal, kaku dan canggung. Sooyoung mengulurkan tangannya, sedikit gemetar entah karena apa namun Sungjae dapat melihatnya dengan jelas. Bahkan saat permukaan kulit gadis itu menyentuh tangannya ada sengatan kecil yang Sungjae rasakan, juga bagaimana dinginnya tangan gadis itu. Sooyoung hanya melempar senyum kaku padanya, tidak menjawab sapaannya.

Meeting dimulai, suasana yang sedikit canggung mulai terkikis dengan perlahan. Ini semua berkat Sekertaris Oh yang memang memiliki pribadi yang hangat. Kebanyakan memang Sekretaris Oh yang mendominasi pembicaraan dan beberapa kali Sungjae menambahkan poin-poin penting yang sekiranya menarik minat Sooyoung selaku pemilik perusahaan yang ingin menginvestasi saham di perusahaannya. Lalu secara tiba-tiba ponsel Sekretaris Oh berdering dan Sekretaris Oh meminta waktu sekitar lima menit untuk mengangkat telepon tersebut. Tersisa Sungjae dan Sooyoung yang duduk berhadapan. Sungjae melempar pandangannya ke arah lain, sedangkan Sooyoung mengecek proposal yang diberikan oleh Sekertaris Oh beberapa menit lalu.

Sungjae menghela nafas pelan, namun Sooyoung masih dapat mendengarnya. Gadis itu mengangkat wajahnya dan menatap Sungjae begitupula Sungjae yang sedikit gengsi karena ketahuan menghela nafas panjang. "Kau..." Ucap Sooyoung menggantung. "Apa kau menerima pesanku?"

Deg.

"Y-ya." Sungjae mengumpat dalam hati karena kegugupannya. "Maaf aku belum sempat membalasnya, kau tahu pekerjaan menumpuk dan ya-" Sooyoung hanya bisa mengulum senyum tipis ketika mendengarnya membuat Sungjae menghentikan kalimatnya, selain itu juga Sekretaris Oh kembali dan kembali melanjutkan meeting hari ini.

Padahal, Sungjae ingin mengobrol banyak.

Sungjae masuk ke dalam mobil yang baru saja sampai tepat dihadapannya setelah sang supir membukakan pintu itu untuknya. "Oppa!" Pekik seseorang membuat tubuh Sungjae membeku. Ia menoleh dengan perlahan dan mendapati gadis itu berlari ke arahnya, bahkan ia sempat mengatur nafasnya sejenak di hadapan Sungjae. "Kita sudah tidak lama mengobrol, bagaimana kalau kita mengobrol sebentar?"

Sungjae menaikan sebelah alisnya mendengar perkataan Sooyoung. Bukan, bukan dia tidak ingin menolak berbicara dengan gadis itu dan pastinya dalam keadaan sesibuk apapun Sungjae dapat meluangkan waktu hanya untuk gadis itu. Namun mengingat dia adalah calon tunangan Taehwan, apa jadinya nanti kalau orang-orang mengira Sooyoung adalah cewek macam-macam? Sungjae tidak ingin itu terjadi. "Ingin bicara apa, Sooyoung? Katakan saja." Ucap Sungjae dengan nada tenang, lebih tepatnya berusaha tenang. Sejak kapan Sungjae bisa tenang bila berhadapan dengan Sooyoung?

"Tidak, ini bukan masalah pekerjaan Oppa. Ini diluar itu. Aku ingin mengobrol tentangmu, semuanya. Aku punya banyak pertanyaan." Ucap Sooyoung dengan menggebu-gebu seakan hal ini yang ingin diucapkannya sedari tadi dari awal mereka bertemu. Sungjae mendesah dan melihat jam yang melingkar di pergelangannya. Bukan, bukan karena jadwal sibuk yang menyita waktunya. Ia melakukan itu untuk berpikir sejenak, apa langkah yang seharusnya ia ambil.

"Maaf, tapi aku sibuk." Putus Sungjae membuat raut wajah Sooyoung perlahan berubah. Matanya meredup dan bibirnya lambat laun menyudut ke bawah. Tanpa berkata apapun lagi, Sungjae masuk ke dalam mobil dan pintu itu menutup. Ia tak sanggup hanya untuk menatap Sooyoung dari dalam mobil. Maka, dibiarkannya mobil itu berjalan satu meter dan ketika itu Sungjae menoleh ke belakang dan mendapati Sooyoung berjalan menjauh dengan bahu yang melemas.

"Aku benar-benar minta maaf." Lirih Sungjae sambil mengepalkan tangannya erat. Menyalurkan emosinya disana, walau sama sekali tidak membantu.

Apalah arti seorang pria kalau memahami perasaan diri sendiri saja sulit. Dibentengi dengan tembok besar bernama gengsi. Takut melangkah, karena takut untuk mengambil konsekuensi juga menerima hasilnya. Sayang, Sungjae masih Sungjae tiga tahun lalu. Yang pengecut dan takut untuk jatuh cinta.

REMEMBER THAT. [ ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang