Yoochun membuka pintu apartemennya dengan setengah tersadar. Bahkan kelopak mata dan kesadarannya belum terbuka dan terkumpul seluruhnya. Bel tersebut terus berdenting, seakan memaksa Yoochun untuk bangun dan membukakan pintu dan memaki orang yang dengan lancang bermain dengan bel apartemennya dan mengganggu tidur pulasnya.
Matanya terbelalak kaget, saat melihat dari layar intercom bahwa pria itu adalah Yook Sungjae. Hatinya menebak-nebak, bukankah seharusnya Sungjae berada di Mokpo? Lantas kenapa pria itu ada disini?
"Hyung, aku tahu kau sudah menatapku dari layar intercom. Aku mohon, segera buka pintunya." Pinta Sungjae dengan nada letih diujung kalimatnya. Entah apa yang membuat Yoochun membukakan pintu apartemennya untuk mantan sahabatnya itu. Yang pasti, Yoochun bisa melihat bagaimana kulit pucat Sungjae lebih pucat dari biasanya. "Apa kau baik-baik saja?" Tanya Yoochun, sedikit khawatir dengan keadaan Sungjae, atau mungkin memang khawatir.
"Apa aku kelihatan baik-baik saja?" Tanya Sungjae kembali, terdengar frustasi. Hingga Yoochun dapat menyimpulkan sendiri bahwa pria dihadapannya ini tidak benar-benar baik. Yoochun duduk di ruang tamu, diikuti dengan Sungjae. Pria itu mengacak rambutnya kasar sedangkan Yoochun hanya bisa menatap hal itu dalam diam. Sungjae mengangkat wajahnya, menatap Yoochun dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Kenapa kau tidak mengatakan sejujurnya?" Ucap Sungjae seraya meminta penjelasan. Yoochun tahu arah pembicaraan ini akan mengarah kemana tapi pria itu lebih memilih bungkam. Membiarkan Sungjae mengatakan semuanya dengan sendirinya, "Kenapa kau tidak bilang bahwa calon tunangan Sooyoung itu adalah Lee Taehwan!? Sahabatku, sahabat kita?!"
Yoochun memejamkan maanya erat, membiarkan Sungjae membentaknya. Karena memang sudah seharusnya begitu, Sungjae pantas untuk marah. Sungjae pantas untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya, walaupun terlambat, tapi setidaknya ia sudah mengetahui semuanya.
"Kau meminta penjelasan?" Ujar Yoochun yang langsung dijawab dengusan sebal oleh Sungjae.
"Tentu saja. Untuk apa aku jauh-jauh dari Seoul ke Mokpo, lalu kembali dari Mokpo jam satu dini hari dan sampai di Seoul jam 3 pagi? Kalau bukan untuk sebuah penjelasan. Aku ingin mengetahui semuanya, bahkan hingga ke detail-detailnya. Tanpa pengurangan ataupun penambahan."
Yoochun menghela nafasnya panjang, ia merebahkan punggungnya ke sofa dan mulai menceritakan semuanya secara jujur, tanpa pengurangan atau penambahan seperti permintaan Sungjae.
*****
June 2015.
Yoochun dengan kepayahan membawa dua kantong plastik belanja yang berisi kebutuhan bulannan yang ia perlukan sebagai penghuni apartemen. Agak merepotkan memang, namun ia sudah mulai terbiasa dengan segala hal yang berbau dengan kata mandiri. Langkahnya terhenti tepat satu meter didepan pintu apartemennya. Tubuhnya membeku, mendapati satu sosok yang sudah lama tak ia lihat selama beberapa tahun belakangan. Mungkin karena merasa diperhatikan oleh Yoochun, orang itu menoleh dan mengangkat tangannya seakan berkata halo.
"Apa kabar, Hyung?"
Yoochun menuangkan air putih ke dalam gelas dan menaruhnya dia atas meja. Ia duduk di kursi meja makan, menunggu pria yang dulu merupakan sahabatnya untuk angkat bicara. Namun, hingga lima menit berlalu pria itu tak kunjung membuka suaranya.
"Katakan Taehwan," Yoochun menghela nafas panjang, "angin apa yang membawamu kesini? Bukankah semuanya sudah berakhir semenjak Sungjae memutuskan untuk pindah ke Inggris?"
"Aku tidak berusaha untuk memperbaiki persahabatan kita, Hyung." Yoochun mengerutkan dahinya mendengar penuturan Taehwan. Ada secuil rasa sedih dan kesal ketika mendengar Taehwan mengucapkan kalimat tersebut, "Tanpa mengurangi rasa hormatku. Aku memohon ijin pada Hyung untuk mencintai Sooyoung."
Diam.
Yoochun tidak tahu bagaimana ia harus bersikap setelah ini. Apakah ia harus senang, marah atau mungkin sedih. Yoochun tidak tahu yang mana. Ia hanya diam untuk waktu yang cukup lama dan mencerna berulang kali kalimat yang baru saja diucapkan Taehwan. Ia berharap kalau ini hanya mimpi di siang bolong dan saat ia terbangun nanti, semua ini hanya omong kosong. Namun saat ia mencoba mencubit pahanya, sakit. Maka ini bukan mimpi.
"Kau gila?" Hanya dua kalimat itu yang terlontar dari mulut Yoochun. Taehwan dengan tegas menggeleng kepalanya, mantap dan yakin.
"Awalnya aku berpikir ketika aku mengatakan ini dihadapanmu, ini akan terkesan gila. Tapi tidak Hyung, sampai detik ini aku masih waras. Setidaknya belum gila. Kenyataannya, aku dalam keadaan sadar saat mengatakan ini." Taehwan menarik nafas panjang dan mengumpulkan keberaniannya untuk melanjutkan kalimatnya, "Aku ingin mencintai Sooyoung, sebagaimana Sungjae dapat mencintainya dulu. Aku menyukainya---Bukan, aku mencintainya dengan segenap hatiku, bahkan jauh sebelum Sungjae mencintainya lebih dahulu. Aku-"
"Kenapa baru sekarang?" Potong Yoochun membuat Taehwan terdiam. "Karena kau hanya memberi kesempatan pada Sungjae."
"Oh shit. Mana keberanianmu? Ini yang kau bilang ingin mencintainya namun dari awal kau tidak berusaha memperjuangkannya?"
Taehwan kali ini benar-benar kalah telak. Ia tidak tahu lagi harus membalas apa, ia benar-benar malu karena apa yang diucapkan oleh Yoochun benar adanya. Ia pria, dan seharusnya ia bisa memulai semuanya lebih dulu. Yang dia lakukan selama ini hanya menunggu hinga Sooyoung sendiri yang datang kepadanya. Padahal, pada kenyataannya Sooyoung tidak pernah sedetik pun mengalihkann pandangannya dari Sungjae.
Mungkin Taehwan memang tidak memiliki kesempatan, bahkan untuk membuat Sooyoung setidaknya melihat kepadanya sebagai sosok pria yang dapat dicintainya. Merasa sia-sia, maka Taehwan beranjak tanpa sepatah kata apapun lagi, ia merasa bahwa Yoochun pun tidak akan memberinya kesempatan karena sebagai pria sejati seharusnya Taehwan harusnya berperang tak perduli dengan hasilnya akan menang atau kalah, bukan mengalah sebelum berperang.
Taehwan memutar gagang pintu, berniat untuk pergi.
"Better than never." Ucap Yoochun membuat Taehwan menghentikan langkahnya.
*****
Sungjae marah, sangat marah. Ia marah bukan kepada Yoochun yang membiarkan Taehwan untuk memperjuangkan Sooyoung, perempuan yang ia cintai. Ia marah kepada dirinya sendiri, yang membiarkan kesialan ini terjadi dalam hidupnya. Yoochun sendiri bisa melihat bagaimana kilatan marah pada mata Sungjae, Yoochun tidak berusaha menenangkannya karena yang Yoochun tahu ketika Sungjae berusaha ditenangkan ia akan meledak.
"A-aku butuh memikirkan ini semua sendirian." Ucap Sungjae dengan nada rendah, menahan emosi.
"Tidak dengan kondisi tubuh lelah dan-"
"Hyung! Aku bisa sendiri!" Bentak Sungjae membuat Yoochun terdiam. "Besok, di cafe biasa. Aku mohon kau datang, entah jam berapa kau bisa menemuiku aku akan stand by disana sejak pagi."
Dan Sungjae menghilang dari balik pintu, meninggalkan Yoochun yang sudah tak ingin lagi terlelap. Malah berharap kalau hari ini akan berjalan lebih cepat dari biasanya, kalau bisa ia ingin meminta satu permintaan untuk melewati hari ini dalam hidupnya.
Sungjae memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, bahkan bisa disandingkan dengan pembalap yang sering kau tonton di pertandingan dalam televisi. Ia tidak perduli jika nyawa adalah taruhannya malam ini. Ia hanya perlu menyalurkan emosinya, entah pada siapa saja. Ia tidak perduli apabila nanti ia akan masuk koran hanya karena mati konyol. Didasari rasa cemburu. Yang terpenting saat itu adalah Sungjae menyalurkan amarah dan sakit hatinya. Ia ingin berteriak dan mengatakan bahwa dirinya telah ditusuk dari belakang oleh sahabatnya sendiri, namun kenyataanya berbalik. Ia lah yang menusuk Taehwan dari belakang, sejak awal.
Kalau sudah begini, apa yang harus Sungjae lakukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
REMEMBER THAT. [ ON HOLD]
FanfictionAfter all this time, i still love her like I did before. It hurts, yes it's fuckin hurt. I try to not think of her, as best I could do. Then, there's a point when all i could do is think of her, remind all of those things we had done and we should d...