Cinta. Kalau bukan karena cinta, dia tidak akan berdiri di sini. Jika bukan demi laki-laki yang dia cintai, dia tidak akan menempuh perjalanan sejauh ini. Perjalanan pertamanya ke luar negeri. Memakan jarak separuh belahan bumi dari rumahnya, yang berada di bawah garis khatulistiwa. Tempatnya berdiri saat ini terletak hampir dekat dengan kutub utara. Untuk bisa sampai di koordinat ini saja dia harus duduk dan terbang hampir sehari penuh di udara. Atau lebih? Tidak tahu. Liliana kehilangan hitungan.
Memang yang harus dia lakukan sekarang bukan berhitung. Tetpi menyelesaikan segala urusan sebelum bergerak untuk mencari jam bulat besar di terminal tiga. Tubuhnya sudah sangat penat. Kepalanya pening dan perutnya mual. Tuhan, kenapa hanya untuk bertemu laki-laki yang kucintai perjuanganku harus seberat ini. Liliana mendesah dalam hati. Sudah melelahkan, biayanya juga tidak murah. Sebagai orang yang terbiasa hidup sederhana—kalau tidak mau disebut pas-pasan—membuang uang lebih dari seratus juta untuk selembar tiket terasa seperti menanggung dosa besar yang tidak terampuni. Uang sebanyak itu hampir mendekati gaji plus bonus dan uang cuti setelah dua tahun memeras keringat.
Liliana memejamkan mata, berusaha menyuruh tubuhnya untuk bertahan sebentar lagi. Suara-suara percakapan dalam berbagai bahasa tertangkap telinganya sedari tadi. Begitu turun dari satu jam penerbangan dari bandara Munich-Franz Josef Strauss, kepalanya berdenyut dan kakinya gemetar. Sambil menahan dingin, Liliana mengeratkan syal merah yang melingkari lehernya. Betul kata Mikkel, lupakan pakaian musim panas dan bawa baju-baju tebal, tidak peduli sekarang bulan apa. Padahal saat mengecek di internet kemarin, Liliana merasa tidak salah baca kalau sekarang musim panas. Kalau musim panas saja sudah begini menyakitkan, bagaimana dengan musim dinginnya? Liliana tidak ingin merasakan.
Pada saat seperti ini, bagaimana rasa cinta terhadap tanah airnya tidak bertambah? Negara tropis yang hangat lebih cocok untuknya. Scandinavia is too cold for her.
Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaga, Liliana melangkah di gedung bandar udara Kastrup. Laki-laki yang melintas di sebelahnya, dengan ponsel menempel di telinga, berbicara keras sekali, seperti sedang meneriaki seisi bandara, dalam bahasa yang sama sekali tidak dipahami Liliana. Membuat Liliana ingin menyumpal kedua lubang telinganya.
Papan-papan petunjuk arah ditulis dalam tiga bahasa; Denmark, Inggris, dan Mandarin. Setelah mencari tahu arah mana yang akan dituju, Liliana bergabung dengan satu gelombang besar orang yang bergerak menuju tempat pengambilan bagasi. Untungnya, dia tidak perlu mengeluh—selama dua puluh empat jam ini sudah berapa kali dia mengeluh?—lagi karena prosesnya tidak memakan waktu lama. Delapan conveyor belt mengirim bawaan semua orang dengan cepat. Begitu mendapatkan kopernya, Liliana kembali bergerak mencari Mikkel, yang berjanji menjemputnya di sini.
Liliana sudah hampir menyerah berjalan saat akhirnya jam bulat raksasa berwarna putih—tempat di mana Mikkel bilang akan menunggunya—terlihat. Gampang sekali ditemukan. Karena benda tersebut mencolok. Atau cenderung menggelikan. Jam analog besar tersebut menggantung di atas layar hitam raksasa, yang menampilkan semua jadwal penerbangan dari dan ke bandara ini, di main hall terminal tiga.
Jam delapan pagi. Waktu Copenhagen. Liliana mengerjapkan mata dan berhenti melangkah. Setelah satu setengah tahun tidak bertemu, sosok yang sangat dan paling dia rindukan sekarang benar-benar nyata ada di depan mata. Bukan dalam bentuk gambar. Bukan melalui video. Tidak ada perantara layar laptop atau ponsel. Mikkel versi sebenar-benarnya betul-betul berdiri lurus di depannya. Liliana mengembuskan napas lega. Sejujurnya tadi dia sempat merasa khawatir saat pesawat mulai meninggalkan Indonesia. Takut kalau Mikkel tidak menjemputnya di Copenhagen. Apa yang harus dia lakukan saat tiba di sini dan tidak bisa menemukan Mikkel?
Tetapi Mikkel tidak akan melakukan hal itu kepadanya, seharusnya Liliana percaya. Mikkel terlalu mencintainya untuk membiarkannya sengsara. Ah, Mikkel. Sudut mata Liliana menghangat. Mikkel tetap inggi, kukuh dan tampan—seperti yang lekat di ingatan Liliana—dengan dark whased jeans dan black classic coat yang dibiarkan terbuka. Meski terdengar konyol, Liliana tetap mengakui bahwa hatinya berbunga-bunga setiap kali melihat Mikkel tersenyum kepadanya. Hanya kepadanya. Suhu udara delapan derajat Celsius saat ini bahkan tidak bisa membuatnya menggigil ketika melihat Mikkel berjalan ke arahnya.
"Mikkel!" Liliana berteriak sekuat-kuatnya. Masa bodoh orang mengira mereka sedang syuting film atau apa. Realita ini ratusan kali lebih indah daripada belasan judul film yang pernah dia tonton dan puluhan judul novel yang sudah dia baca.
"Hi, Sweets." Dua kata yang diucapkan Mikkel terdengar menyenangkan di telinga Liliana. Tidak menyakitkan seperti yang didengar Liliana pada setiap sesi video call mereka. Di mana mereka hanya bisa bicara, tanpa berbuat apa-apa.
Dengan sekali loncat, Liliana mendarat di pelukan yang selama setahun ini hanya bisa dia bayangkan. Tubuh Liliana terangkat saat Mikkel mendekapnya dengan sangat erat. Sambil tersenyum lebar Liliana menghirup wangi yang dia rindukan, mengisi penuh paru-parunya. Pipi kanannya menempel di dada bidang Mikkel yang berbalut sweater berwarna biru gelap. Setelah kedinginan belasan jam di pesawat, sekarang segalanya terasa panas sekali. Seluruh bagian tubuh Liliana hidup kembali. Bahkan sampai hatinya yang paling dalam. Semua terisi kehangatan. Ini yang paling dia inginkan. Berada di sini. Di pelukan kekasihnya.
"I missed you." Liliana menatap ke atas, tepat ke mata biru Mikkel.
"I've missed you too." Mikkel menurunkan Liliana dan mencium kening Liliana.
Tahu apa obat rindu terbaik di dunia ini? Bukan bertemu. Tetapi dibalas dirindukan.
Saat ini, lagu-lagu cinta di ponsel Liliana—yang didengarkan sepanjang perjalanan dari Munich ke Copenhagen tadi—terdengar basi sekali. Suara semua penyanyi tidak seindah suara Mikkel yang baru saja didengarnya. Kalimat dalam lagu tidak sarat makna seperti kata rindu sederhana yang baru saja meluncur dari bibir yang kini menciumi kepalanya.
Mikkel menatap dalam-dalam mata Liliana. "I demand a kiss. A real kiss."
Liliana menutup bibir dengan telapak tangan kanan. "Nanti, Mikkel, nanti. Aku nggak gosok gigi selama di jalan. Napasku bau. Aku nggak mau nyium kamu dengan bibir terbuka." Memang Liliana sempat berkumur dengan mouthwash, tapi tetap saja dia tidak percaya diri untuk membiarkan Mikkel menjelajahi mulutnya. "Kalau mau cium, di sini." Liliana menunjuk bibirnya yang terkatup rapat.
"Aku sudah pernah menciummu pagi-pagi saat kamu bangun tidur. Dan aku tidak keracunan atau apa. Aku tetap hidup." Tidak mencium Liliana sama sekali yang akan membuatnya mati.
"Waktu itu, tujuh jam sebelumnya aku gosok gigi." Yang dimaksud Mikkel adalah ciuman pada saat Mikkel datang ke rumah Liliana selepas subuh untuk memberi kejutan ulang tahun. "Kalau sekarang, aku nggak gosok gigi selama dua puluh empat ja...." Sebelum Liliana menyelesaikan kalimat, Mikkel sudah lebih dulu menempelkan bibir di sana.
Liliana sempat melotot sebentar, kaget karena Mikkel tidak memberi aba-aba. Tetapi menit selanjutnya, Liliana sudah memejamkan mata dan ikut melepaskan kerinduan mereka. Tidak ada gunanya melawan, jadi lebih baik menikmati. Liliana bisa merasakan Mikkel tersenyum dalam ciumannya. Ciuman paling panjang dan paling dalam yang dia dapat selama satu tahun ini. Ciuman terbaik, kalau boleh dikategorikan. Mau tidak terbaik bagaimana, ini pertama kalinya mereka bertemu, setelah lebih dari empat ratus hari.
Peduli setan orang mau bilang apa melihat mereka berciuman di tengah bandara padat begini. Mikkel sudah pernah menciumnya di bandara Soekarno-Hatta. Di sini, di Eropa ini, orang lebih memaklumi—atau malah tidak peduli—dengan hal-hal semacam ini bukan? Otak Liliana berhenti bekerja lagi dan menikmati ciuman panjang ketiganya.
"See? I survived." Mikkel tersenyum penuh kemenangan. Ibu jari Mikkel menyapu bibir Liliana dengan lembut. Lalu bibir Mikkel kembali membungkam bibir Liliana yang sudah siap protes lagi.
Sulit dipercaya. Setelah belasan bulan bertarung dengan perbedaan waktu, urusan domestik—pekerjaan, keluarga, teman, dan masalah dalam negeri lain—serta masalah-masalah teknis atau non teknis lain, akhirnya mereka bisa bersama lagi. Mengulang ciuman untuk keempat kali. Airport kisses are the best. Plus, ini rekor baru dalam sejarah perjalanan mereka. Berciuman di dua negara berbeda. Denmark dan Indonesia.
####
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Days of Summer
RomanceDari Penulis Pemenang The Wattys 2021 Kategori Romance: Lund. Adalah satu-satunya kota yang berhasil diadopsi oleh Mikkel Moller. Bukan Copenhagen, kota kelahiran ayahnya. Juga bukan Jakarta, kota kelahirannya. Lebih dari sepuluh tahun Mikkel memban...