Sampai Kapan Pun Dia Tidak Akan Tinggal Di Sini

5.1K 746 61
                                    

Setelah kita menikah nanti. Kalimat itu berputar di kepala Liliana.

"Sweets? Jus? Susu?" Karena tidak ada jawaban, Mikkel mengulang pertanyaannya.

"Jus."

"Menurutmu, apa apartemenku cocok untuk rumah baru kita? Setelah kita menikah?"

Gerakan tangan Liliana terhenti di udara. Batal memasukkan sendok ke mulutnya.

Mikkel membawa sekarton jus jeruk ke meja.

"Apartemenku masih kurang besar, ya? Tapi kalau tinggal di rumah yang terlalu besar, nanti kita susah sendiri mengurusnya," lanjut Mikkel, yang tidak menyadari bahwa raut wajah Liliana sudah berubah. "Sementara, ini kurasa cukup. Kecuali kalau kita punya banyak anak nanti. Mereka perlu tempat lapang. Tapi kita akan punya waktu nanti, dua tiga tahun cukup untuk mencari-cari tempat tinggal yang lebih baik."

"Aku nggak ingin membicarakan itu, Mikkel." Liliana meletakkan garpunya. Sudah hilang semua nafsu makannya.

"Help me understand here, Sweets. Bukannnya kamu yang selama ini menuduhku menghindar kalau diajak membicarakan masa depan? Membicarakan pernikahan? Kemarin malah kamu marah-marah di kereta karena masalah ini. Sekarang, aku siap membahas ini, kamu tidak ingin?"

"Kamu sendiri yang bilang kita nggak perlu bertengkar karena aku baru sampai di sini. Karena aku masih capek. Pusing. Bisa nggak kamu kasih aku kesempatan untuk bernapas dulu? Sebelum kita membahas masalah kita dan...." Putus, Liliana membahkan dalam hati.

"Siapa yang mengajak bertengkar? Aku cuma ingin tahu kamu ingin tinggal di rumah yang seperti apa. Itu kan obrolan santai sambil sarapan. Banyak pasangan melakukannya."

Sayangnya, mereka tidak seperti pasangan kebanyakan. Segala pembicaraan mengenai masa depan pasti akan berujung pada keributan.

Tidak ada yang salah dengan apartemen Mikkel. Tipikal skandinavian house. Rapi. Bersih. Tidak ada perabot yang tidak berguna. Semua benda yang ada di rumah ini ada fungsinya. Praktis. Ringkas. Mudah dibersihkan. Dindingnya berwarna putih, guna membuat seluruh ruangan terkesan lebih terang. Untuk menolong karena cuaca di sini cenderung suram.

Tempat tinggal Liliana di Indonesia terasa seperti rumah zaman purba. Di sini kalau mau minum tinggal memutar keran, air dingin atau panas tersedia dua puluh empat jam. Tanpa perlu repot mengganti galon. Kurang modern bagaimana negara ini dalam rumah tangga? Robot pembersih lantai, yang bahkan bisa melakukan pekerjaan selama ditinggal liburan—juga pertama kali dibuat orang sini. Oleh Elextrolux, perusahaan pembuat alat rumah tangga dari Swedia.

Kondisi luar rumah juga tidak kalah bagus. Kotanya asri, tidak macet, tidak bising dan tanpa polusi. Alternatif transportasi lebih dari memadai, pilihannya pun beragam. People can enjoy the walk and the park. Sangat cocok untuk mengosongkan isi kepala dan mengistirahatkan otak dari penat memikirkan rumitnya kehidupan. Di sini selama dua hari saja sudah membuat Liliana betah dan jatuh cinta.

Dengan segala kelebihan kota ini, yang memanjakan siapa saja yang tinggal di sini, tetap yang diinginkan Liliana adalah Mikkel yang pulang ke Indonesia. Tidak peduli kalau dia harus menimba air dari sumur atau menghirup asap knalpot setiap hari. Sampai kapan pun dia tidak akan tinggal di sini.

***

Liliana mengayuh sepedanya dengan santai melintasi jalanan yang diapit semak-semak hijau. Kepala Liliana tertutup beanie berwarna merah. Bagian bawah rambutnya berkibar-kibar ditiup angin. Di bawah matahari musim panas, Liliana bersinar seperti malaikat. Karena Mikkel hanya punya satu sepeda, Mikkel menyewa satu lagi untuk Liliana. Dua puluh lima krona untuk tiga hari. Setiap pagi mereka punya waktu setengah jam untuk berpelukan di tempat tidur, setelah Liliana bangun, sebelum Mikkel mencium bibir Liliana dalam-dalam dan berjalan ke dapur dan membuat sarapan. Menurut hitungan Liliana, mereka sudah berciuman di tiga negara berbeda. Dalam hati Mikkel bersumpah akan membawa Liliana ke banyak tempat di dunia dan memperpanjang daftar nama-nama negara di mana mereka pernah berciuman.

God, no! They don't hook up, if people might ask. Liliana tidur di kamar, Mikkel di sofa. Mikkel hanya datang ke tempat tidur Liliana untuk mencuri satu ciuman darinya tiap malam dan pagi, menggoda Liliana sebentar, mendengarkan Liliana mengomel, dan tertawa bersama. Kalau boleh serakah, Mikkel ingin selamanya terbangun karena mendengar suara Liliana. Bukan bunyi alarm dari jam digital di samping tempat tidurnya.

Tetapi orang perlu berjuang dulu untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Berjuang sangat keras. Dalam kasus Mikkel, berjuang membuat Liliana jatuh cinta pada kota ini dan mau tinggal di sini. But nothing worth having is easy anyway.

"Lovely," kata Liliana saat turun dari sepeda.

Mikkel setuju. Pantai Lomma memang indah sekali. Pasirnya hampir-hampir menyerupai bubuk kapur. Beberapa orang sedang surfing. Iya, kita bisa surfing di Eropa. Tidak hanya di Hawaii sana. Di sini juga ada kelas surfing kalau memang niat ingin belajar. Dan tahan dingin.

"Ternyata ada pantai ya di sini?" Liliana membiarkan kakinya tersentuh air laut.

"Ya pasti ada. Kamu pikir ini di bulan?" Mikkel berjalan sambil merangkul pinggang Liliana. Hanya satu kekurangan pantai ini jika dibanding pantai-pantai di Bali. Pantai di sini tidak bisa dikunjungi sepanjang tahun. Seperti Lomma ini, tidak ramah saat musim dingin. Angin yang berembus dari selat Kattegat membuat tulang ngilu. "Sudah lama aku tidak ke sini."

Pantai Lomma sama sekali tidak berubah sejak Mikkel ke sini dua tahun yang lalu. Pasir pantai masih putih dan sangat lembut, warna laut dan langit tetap biru, seperti musim panas tahun-tahun sebelumnya. Kedai-kedai dan kafe-kafe berdinding cerah membuat tempat ini semakin menyenangkan dipandang mata.

Hari ini Mikkel membiarkan Liliana memotret pemandangan sepuasnya. Tidak ada hari tanpa gawai. Khusus hari ini saja. Selama perjalanan menuju Lomma tadi, Liliana sudah mengumpulkan lebih dari tiga puluh foto. Di depan rumah tua berdinding putih dan beratap merah, dengan pintu berwarna biru, yang ternyata menjual es krim. Di Fiskboden—menjual ikan segar dan dilengkapi restoran—yang berdinding merah marun dengan kusen-kusen putih. Bahkan Liliana minta difoto di depan sebuah toilet. Hanya karena kombinasi warnanya bagus. Dengan dinding abu-abu dan pintu oranye.

"Menurutmu apa yang harus kutulis di caption Instagram?" tanya Liliana, yang sibuk lagi dengan ponselnya. Dia ingin meng-upload foto toilet terbaik yang pernah dilihatnya. Bagian dalam toiletnya sama dengan toilet hotel bintang lima di Indonesia. Modern, bersih dan wangi.

"Instagram-mu di-follow Papa. Jangan tulis yang aneh-aneh." Mikkel mengingatkan agar Liliana hati-hati dengan segala yang ditulisnya di media sosial.

####

Seven Days of SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang