"Aku bilang begitu? Uang itu kuikhlaskan? Seharusnya tetap kuhitung sebagai utang. Kamu pasti mau kuajak kencan karena kamu sudah naksir aku sejak dulu."
"Kepedean!" cibir Liliana. "Alasanku mau pergi sama kamu memang demi dihapuskan utang itu. Lebih baik aku miskin dan nggak jalan-jalan daripada punya utang." Liliana bekerja di bank dan tahu bagaimana destruktifnya utang, jika debitur menganggap utang adalah cara mudah untuk mendapatkan uang, tanpa mengukur kemampuan finansial diri sendiri.
"Padahal itu hasil kerja paruh waktu di kedai kopi di Copenhagen sana. Kerja keras setiap hari ... mengelap meja, membersihkan lantai, dan...."
"Perjanjian tetaplah perjanjian, Mickey. Kalau kamu suruh aku bayar sekarang, kita putus." Liliana memasang senyum terbaiknya.
"Pinter banget kamu memanfaatkan kelemahanku," protes Mikkel.
"Kamu takut kehilangan aku, hmm? Aku akan selalu menunggu kesempatan baik untuk mengambil keuntungan dari kelemahanmu." Liliana menepuk pipi Mikkel sambil tertawa.
Mikkel menarik hidung Liliana. Seratus persen betul prediksi Mikkel dulu. Liliana adalah berlian yang belum diasah. Sudah terlihat memesona, tapi belum maksimal. Ketika akhirnya Liliana lulus kuliah dan mendapat pekerjaan, Liliana punya kebebasan finansial untuk merawat diri dan memerhatikan penampilan. Sudah pasti jika ikut audisi putri-putrian itu Liliana akan langsung menang. Karena tak hanya parasnya, kecerdasan Liliana pun di atas rata-rata. Dan saat Liliana semakin cantik luar dan dalam, dia sudah menjadi milik Mikkel. Selamat gigit jari untuk laki-laki lain yang hanya bisa menatap Liliana dari jauh.
"Lil...." Mikkel masih memerhatikan foto-foto lama mereka. Selain foto yang dipotong oleh Liliana, foto asalnya juga masih ada di ponsel Liliana. Kapan mereka bisa berkumpul lagi seperti ini? Jarak betul-betul menyebalkan. Linus dan Lily di Jerman. Afnan di Denmark. Liliana dan Edsger di Indonesia. Juga mereka punya kehidupan berbeda sekarang. Lily, Linus, dan Edsger bahkan sudah berkeluarga.
"Hmm?" Liliana menggerak-gerakkan kaki di pasir pantai yang lembut.
"Lebih ganteng aku daripada Afnan, kan?"
Liliana langsung terbahak. "Gimana mungkin? Wajah kalian sama. Kalau aku bilang kamu ganteng, ya Afnan otomatis ganteng juga."
"Paling tidak kamu harus setuju kalau aku lebih segalanya daripada Afnan karena kamu mencintaiku." Lahir dengan wajah mirip dengan kembarannya banyak tidak enaknya. Salah satunya, Mikkel tidak akan pernah bisa menjadi orang paling tampan di dunia. Karena ada wajah Afnan juga.
"Duh, Mickey, aku memang jatuh cinta. Tapi cinta nggak membuatku buta." Liliana menyenggol lengan Mikkel, masih terus tertawa.
***
Setelah puas menikmati pantai dan es krim, Liliana bahkan sempat tertidur dengan kepala di pangkuan Mikkel, karena matanya berat sekali dibuai angin laut, Mikkel mengajak Liliana kembali ke kota dan mampir untuk makan sushi. Iya, sushi, makanan Jepang itu.
"Kalau cuma sushi di rumah juga banyak," protes Liliana. Zaman sekarang, di seluruh Indonesia, semua orang bisa makan sushi. Harga yang tersedia bervariasi—dari yang murah sampai yang selangit. Tidak harus pergi ke Swedia begini.
Ra Epok. Liliana membaca nama restorannya. Setelah masuk dan duduk di restoran sushi di Klastergatan ini, baru Liliana tahu sushi di sini berbeda. Dari papan tulis hitam—ditulisi dengan kapur tulis putih seperti di sekolah zaman dulu—yang menempel di dinding di belakang kasir, hampir dekat dengan langit-langit, di samping papan menu warna merah, orang akan langsung tahu apa perbedaannya. Sushi på spånska kata papan tulis itu.
"På spånska artinya Scanian style. Ini memang sushi, tapi Scanian sushi," jelas Mikkel sebelum Liliana sibuk memotret lagi.
Terserah apa kata orang yang mencela orang lain yang suka memotret makanan. Mereka bilang apa? Sebelum makan bukan berdoa malah memotret? Tangan kanan untuk memegang sendok, bukan kamera? Liliana berdoa sebelum makan, sayang mereka tidak dengar. Juga ponsel Liliana masuk ke tas saat Liliana makan.
Di depan mereka saat ini tidak ada belut, tuna atau udang yang menumpangi sushi. Melainkan salmon, ikan cod, ikan perch, atau ikan char. Tetap ada wasabi dan sup. Tetapi jangan beharap menjumpai sup miso. Jelas tidak ada.
"Ini sup apa, Mikkel? Kenapa warnanya beda begini?" Liliana mengaduk sup berwarna kekuningan—kuning terang pucat, bukan warna kuning kunyit—di mangkuk di depannya. "Rasanya agak terlalu asin."
"Memang begitu rasanya. Enak kan? Itu pakai saffron." Mikkel menyesap smoothies di gelasnya.
Ada satu kebiasaan Mikkel yang baru diketahui Liliana saat berada di Swedia. Mikkel selalu minum segelas smoothies setiap hari. Tidak pernah terlewat satu kali pun. Seandainya, sekali lagi seandainya, mereka menikah, apa Liliana jadi punya kewajiban menyiapkan segelas smoothies setiap hari? Memang terdengar merepotkan, tapi Liliana akan dengan senang hati membuatkan seember smoothies kalau Mikkel mau tinggal di Indonesia.
"Saffron?" Meski terlalu asin di lidah Liliana, tapi sup ini enak sekali.
"Bumbu dari bunga ... apa ya...." Mikkel berusaha keras untuk mengingat namanya. "Aku lupa. Mahal itu. Baik buat kesehatan. Karena—
"Mikkel!"
Penjelasan Mikkel diinterupsi oleh tiga orang laki-laki yang mendekati meja mereka. Ketiganya rapi seperti orang kantoran—mungkin teman kerja Mikkel. Mikkel sendiri cuti selama Liliana di sini. Mikkel berdiri dan bicara dengan bahasa Swedia. Atau Denmark? Atau Swedia-Denmark? Kalau lancar berbahasa Inggris, kenapa mereka tidak menggunakannya? Setidaknya untuk menghargai Liliana yang, mau tidak mau, ikut mendengarkan. Atau memang mereka sengaja tidak pakai bahasa Inggris, supaya Liliana tidak paham?
"Liliana. Min dejlige* Liliana." Mikkel menoleh pada Liliana. "Ini teman-teman kantorku, Lil. Rikard, Lars, dan Alek." Bergantian Mikkel menunjuk laki-laki berkacamata, berkemeja biru dan terakhir berambut paling gelap di antara ketiganya.
Mau tidak mau Liliana berdiri dan tersenyum untuk salaman dengan mereka karena nama Liliana disebut. Tidak mungkin dia merusak nama baik Mikkel dengan menjadi kekasih yang tidak sopan.
Ada kesadaran menyakitkan yang menghantam Liliana. Mikkel sudah seperti penduduk negara ini. Fisik Mikkel mirip dengan hampir semua penduduk asli sini. Badan, kulit, rambut dan mata. Wajar Mikkel betah dan nyaman tinggal di sini, karena dia tidak perlu menjadi minoritas—yang sering dikeluhkan Mikkel selama di Indonesia.
"Aku ingin punya mata hitam, seperti kamu dan yang lain. Mata biru membuatku terlihat sangat mencolok. Ke mana-mana, orang memerhatikan. Apalagi kalau aku ngomong bahasa Indonesia sama lancarnya dengan mereka." Mikkel pernah mengaku pada Liliana saat mereka keluar dari bioskop dulu.
"Normalnya manusia memiliki warna iris mata cokelat gelap. Sekitar 6.000 sampai 10.000 tahun yang lalu, ada orang terkena mutasi genetik sehingga warna iris matanya menjadi biru. Kelainan ini diturunkan terus-menerus sampai saat ini." Ini juga menurut penjelasan Mikkel, yang saat itu sampai membacakan hasil penelitian dari University of Copenhagen, tempat di mana Mikkel pernah kuliah.
"Viking bloods run in my family," jelas Mikkel saat Liliana pernah bertanya kenapa Mikkel, Afnan dan Lily bisa bertubuh tinggi. Liliana tidak tahu apakah itu jawaban serius atau bukan. "Dulu mereka ditakuti di seluruh benua Eropa, di darat maupun di laut. Karena mereka besar, tinggi, dan kuat. Bahkan kabarnya mereka sanggup berenang di laut saat musim dingin."
Mikkel tertawa bersama ketiga temannya. Melihat lancarnya Mikkel bicara dalam bahasa Swedia, siapa yang menyangka kalau dia bisa berbahasa Indonesia dengan normal juga? Apakah teman-teman Mikkel tahu bahwa Mikkel masih berpaspor hijau? Tahu Mikkel seorang warga negara Indonesia?
####
*My lovely.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Days of Summer
DragosteDari Penulis Pemenang The Wattys 2021 Kategori Romance: Lund. Adalah satu-satunya kota yang berhasil diadopsi oleh Mikkel Moller. Bukan Copenhagen, kota kelahiran ayahnya. Juga bukan Jakarta, kota kelahirannya. Lebih dari sepuluh tahun Mikkel memban...