"Jangan tidur, Sweets. Kamu belum pernah naik kereta di bawah laut, kan?" Tegur Mikkel dengan lembut, saat kepala Liliana tiba-tiba terkulai ke kanan, mengenai bahu Mikkel. Mikkel tidak ingin Liliana melewatkan perjalanan istimewa mereka kali ini.
Bukan Mikkel tidak paham Liliana lelah. Setiap orang, setelah turun dari penerbangan panjang, pasti yang pertama ingin dilakukan hanya tidur. Apalagi setelah memangkas waktu sampai lima jam, ritme tubuh menjadi kacau.
"Belum." Liliana menjawab lemah dan berusaha menjaga matanya tetap terbuka.
Sudah berapa kali dalam hidupnya, Mikkel naik kereta berwarna biru ini melintasi selat Øresund? Puluhan. Perjalanan Denmark-Swedia yang kesekian puluh kali ini terasa sangat berbeda hanya karena kehadiran satu orang saja. Gadis yang kini sedang memotret Dannebrog yang melintas di samping kereta menggunakan ponsel, dalam perjalanan dua puluh menit di atas jembatan bertingkat—bagian atas untuk kendaraan bermotor dan bawah untuk kereta—terpanjang di Eropa.
Mikkel menyita ponsel Liliana. "Jangan main HP terus. Untuk apa kita bersama kalau kita tetap sibuk dengan HP masing-masing? Sudah cukup hidup kita dihabiskan bersama benda ini."
"Kamu pikir karena siapa aku akrab sama HP?" Liliana menyahut dengan ketus.
"Sekarang kan kita sudah bersama. Kita tidak perlu bantuan benda ini." Selama long distance relationship—istilah yang sering didengar Mikkel keluar dari bibir Liliana untuk hubungan mereka—memang mereka lebih banyak mengandalkan ponsel untuk berkomunikasi.
Tanpa disadari, ponsel mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Kalau tidak percaya, lihat saja acara kumpul bersama teman, masing-masing akan sibuk dengan ponsel. Hanya untuk memperbarui berita mengenai orang lain yang tidak sedang berada di dekat mereka. Yang sedang di sampingnya bicara apa juga sering tidak masuk telinga.
"Mikkel, ini kenapa?" Liliana panik melihat sekitarnya menjadi gelap.
"Kenapa kamu masih saja salah panggil namaku? Aku sudah mengajarimu berkali-kali." Bukan menjawab pertanyaan Liliana, Mikkel malah membahas nama.
Kereta masuk ke drogden, atau terowongan, dan berjalan delapan belas meter di bawah permukaan laut. Kalau dilihat dari udara, unjung jembatan Øresund di sisi Swedia memang seolah terputus. Padahal tidak, hanya berubah menjadi terowongan di bawah air. Kalau atap kereta dan atap terowongan ini transparan, orang akan bisa melihat bagian bawah Dannebrog* atau kapal-kapal lain di atas kepala mereka.
"Salah gimana?" Sambil menempelkan wajah di jendela kereta, Liliana bertanya.
"Meegel. Mee ... gel...."
"Migel?" Ulang Liliana, masih tetap dengan wajah menghadap jendela kaca.
"No. It's Meegel."
"Ah, terserahlah." Liliana tidak ingin repot hanya mengurusi nama Mikkel saja. "Punya nama susah amat dibaca. Aku akan tetep panggil kamu Mikkel. M. I. K. E. L. Terserah kamu suka atau nggak."
"Yang salah Papa, yang kasih nama," gerutu Mikkel menyalahkan ayahnya. Alasan yang dijelaskan ayahnya, mengenai nama Mikkel—yang tidak semudah nama Afnan, kembarannya, untuk diucapkan—adalah nama ini diambil dari nama sahabat baik ayahnya yang meninggal saat masih muda.
Mikkel tidak menyalahkan Liliana, atau siapa saja, yang tidak bisa melafalkan nama Mikkel dengan benar. Sampai detik ini, di keluarga Mikkel, hanya dua orang yang bisa memanggil namanya dengan tepat. Afnan, yang dipercaya sudah berbicara bahasa Denmark sejak dalam kandungan, dan orang yang memberi nama. Bahkan Mikkel sendiri perlu waktu lama untuk mempelajari pelafalan namanya. Adik perempuannya—Lily—dan ibu mereka tidak peduli, tetap memanggilnya Mikel.
"Tapi ada panggilan yang lebih gampang, Sweets."
"Apa?"
"Kamu bisa panggil aku Ganteng."
Liliana tertawa. Kalau urusan percaya diri, tidak ada yang bisa menyaingi Mikkel.
"Kenapa kamu nggak menerjemahkan namamu seperti Lily?" Sahabat terbaik Liliana sejak SMP—adik perempuan Mikkel—menyuruh semua orang memanggilnya Lily, meskipun nama yang tertulis di kartu identitas adalah Lilja. Nama Lily dinilai lebih ramah untuk lidah orang Indonesia.
"Sudah jelas terjemahannya." Mikkel tersenyum lebar.
"Apa?" Liliana mengerutkan kening.
"Mikkel kalau diterjemahkan jadi ganteng."
"Sesukamulah." Liliana kembali tertawa. Apa lagi yang hendak diperdebatkan? Mikkel memang tampan. "Apa tempat tinggalmu masih jauh lagi? Bokongku mati rasa duduk seharian."
Liliana tidak bisa memercaya untuk bertemu pacar saja perjuangannya harus seberat dan semahal ini? Apa ada orang lain yang berada pada posisi yang sama? Kalau banyak, Liliana ingin mendirikan perserikatan atau apa. Supaya mereka bisa saling memberikan dukungan moral.
"Kalau bokongmu pegal, nanti aku pijit—
"HEH!" Liliana melotot.
"Bercanda, Sweets, bercanda. Aku sudah bersumpah pada ibumu kalau aku tidak akan melakukan sesuatu yang kuinginkan padamu, kalau aku melakukan pun ... okay ... okay ... aku cuma bercanda." Tangan Mikkel terangkat ke udara melihat Liliana semakin galak menatapnya.
"Kita masih akan ganti bus di Malmö nanti," jelas Mikkel.
"Lagi?" Mulut Liliana membulat. "Aku nggak bisa percaya orang bisa bikin kalimat ... apa itu ... demi cinta gunung 'kan kudaki, lautan 'kan kuseberangi. Dia pasti nggak tahu menyeberangi lautan itu bikin capek," gerutu Liliana setelah merasakan jauhnya perjalanan lintas benua. Masalah naik gunung, Liliana tidak tahu bagaimana sulitnya. Karena belum pernah dan tidak akan pernah mencoba.
"Itu yang dinamakan cinta bukan? Orang rela melakukan apa saja demi bersama orang yang mereka cintai. Memangnya kamu tidak merasakan itu? Bahwa kamu rela melakukan apa saja untuk bisa bersamaku karena mencintaiku?" Kalau Afnan mendengar Mikkel membual soal cinta seperti ini, pasti kembarannya itu akan tertawa sambil memegangi perutnya.
"Aku memang mencintaimu, tapi masalah melakukan apa saja untuk bisa bersamamu ... ya ... pikir-pikir dulu." Cinta sih cinta, tapi tetap pakai logika juga. "Buat menyeberangi lautan ini biayanya nggak murah. Bonus tahunanku aja nggak cukup buat beli tiket sekali jalan."
"Naik di kelas utama saja masih terasa capek, kan? Coba kalau aku menuruti keinginanmu, yang ngotot mau naik ekonomi." Mikkel mengingatkan Liliana yang sempat keberatan kursinya di-upgrade.
"Ya selisihnya banyak betul, Mikkel. Uang segitu sudah bisa buat beli rumah atau bangun kos-kosan. Bisa disewakan."
"Teknisnya, kamu tidak keluar uang sama sekali, Sweets. Tidak usah dibikin pusing. Kalau kangen aku, kamu tinggal datang ke sini. Tiga bulan sekali. Empat bulan sekali. Terserah kamu mau bagaimana. Tiket pesawat pulang pergi tidak sampai menghabiskan satu kali gajiku."
"Kalau seperti itu, kenapa bukan kamu yang ke Indonesia? " tukas Liliana. "Nggak pengen pulang? Aku nggak cukup lagi menjadi alasanmu untuk pulang?"
"Aku ingin pulang, Lil—
"Tapi bukan sekarang!" Potong Liliana, yang sudah hafal dengan moto hidup Mikkel. Ingin pulang tapi bukan sekarang. "Sudah sering kamu ngomong begitu."
"Kalau kamu lebih luang dan bisa ke sini, kenapa bukan kamu saja yang ke sini? Kita bisa ketemu lebih cepat dan lebih sering. Tidak usah memikirkan biaya, aku yang bayar tiketnya dan semua—
"Bisa nggak sih kamu nggak bawa-bawa masalah uang?! Kamu tahu ini bukanmasalah biaya!" Sergah Liliana.
####
*Yacth berwarna putih milik keluarga kerajaan Denmark.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Days of Summer
RomanceDari Penulis Pemenang The Wattys 2021 Kategori Romance: Lund. Adalah satu-satunya kota yang berhasil diadopsi oleh Mikkel Moller. Bukan Copenhagen, kota kelahiran ayahnya. Juga bukan Jakarta, kota kelahirannya. Lebih dari sepuluh tahun Mikkel memban...