"Aku orang Indonesia. Aku lahir dan dibesarkan di Indonesia. Dengan cara setengah Indonesia, karena Mama orang Jawa." Setiap kali Liliana menyebutnya bule, kalimat panjang semacam ini keluar dari bibir Mikkel. Dengan berbagai macam redaksional.
Kalau cinta Indonesia, kenapa Mikkel tidak pulang dan berkarya di sana? Pertanyaan ini belum pernah keluar dari bibir Liliana. Sebab Liliana yakin Mikkel pasti punya alasan panjang dan logis untuk mementahkannya. Ini adalah perbedaan cara menjalani hidup terbesar di antara dirinya dan Mikkel. Gampang saja bagi Mikkel untuk hidup jauh dari rumah tanpa memikirkan keluarganya di Indonesia. Jelas Mikkel akan terbang ke mana saja untuk meraih kesuksesan seperti ini. Karena sejak dulu orangtuanya mendidiknya begitu.
Sedangkan Liliana ada kewajiban untuk tinggal di Indonesia. Untuk menjaga ibunya. Pengertian sukses dalam kamus Liliana adalah bisa bekerja dan gajinya cukup untuk biaya hidup dan mencicil rumah bersama ibunya. Tidak terselip niat untuk menjadi orang paling hebat di dunia, seperti obsesi Mikkel.
"Mereka bilang bosku tidak bisa hidup tanpa aku." Mikkel memberi tahu Liliana isi percakapannya dengan teman-temannya. "Dan mengancam kalau aku tidak segera masuk, dia sendiri yang akan menyeret bokongku ke kantor." Teman-teman Mikkel sudah memisahkan diri ke meja lain.
"Gimana kalau aku juga nggak bisa hidup tanpa kamu? Bagaimana kalau aku juga menyeretmu ke Indonesia?" Liliana tersenyum hambar. Pekerjaan Mikkel dan kota ini adalah saingan terberat Liliana. Mereka sama-sama berebut cinta dan perhatian Mikkel. "Apa yang akan kamu lakukan Mikkel?"
Dalam setiap sesi chatting mereka, Mikkel sering sekali menceritakan pekerjaannya. Apa yang sedang dikerjakannya, walaupun secara teknis Liliana tidak paham. Terlalu rumit. Dari situ saja Liliana tahu bahwa pekerjaan itu adalah inti hidup Mikkel. Yang, sepertinya, sulit dipindahkan ke mana pun kecuali ke negara lain, yang tidak kalah maju.
"Aku juga tidak bisa hidup tanpamu. Hidup bersamamu di sini, beberapa hari ini, terasa sempurna sekali bagiku. Aku belum pernah merasa sangat bahagia seperti ini selama tinggal di sini," jawab Mikkel. "Aku berharap kamu terus tinggal di sini. Membayangkan kamu akan pulang beberapa hari lagi ... aku tidak bisa."
Jawaban yang sudah diduga Liliana. Pasti Mikkel akan membujuknya untuk pindah ke sini. Ya, karena hidup Mikkel memang di sini. Indonesia hanya tempat berlibur. Selama satu atau dua bulan. Mana mungkin Mikkel mau pindah? Negara sebesar Indonesia terlalu sempit untuk menampung cita-cita Mikkel yang luas. Terlalu kecil untuk menyerap ilmu dan passion Mikkel yang besar.
Sama. Di sini bersamamu juga sempurna bagiku, Liliana menggumam dalam hati. Tetapi sayang, kota ini tidak akan pernah bisa mengakomodasi semua keinginan Liliana. Yang ingin hidup bersama dengan dua orang yang paling berarti baginya, ibunya dan Mikkel, dalam satu kota. Hidup Mikkel di sini. Hidup ibunya di sana. Mereka tidak akan pernah bisa bersatu.
"Sweets, you okay?" Mikkel menyentuh tangan Liliana. "Kenapa kamu diam?"
"Aku mau makan es krim," cetus Liliana.
"Lagi? Kamu tidak kenyang?" Mikkel masih melanjutkan makannya yang tertunda.
"Es krim nggak bikin kenyang." Tetapi bikin senang. Suasana hati Liliana sedang tidak terlalu baik dan Liliana berharap es krim bisa membantu memperbaiki.
"Oh, kata Rikard, temanku tadi, kamu cantik dan masih muda sekali. Dia mau melaporkan aku ke polisi karena curiga aku mengencani gadis di bawah umur."
Liliana tidak mengatakan apa-apa.
"Kita ada masalah apa, Lil? Apa aku berbuat salah lagi hari ini? Nomor telepon kantor polisi sudah kusimpan di speed dial angka satu. Just in case. Kalau aku perlu menyerahkan diri karena berbuat kejahatan, membuatmu sedih." Membuat Liliana sedih sudah masuk kategori tindakan kriminal, dalam dunia Mikkel.
Liliana tetap tidak tertawa mendengar gurauannya.
"Nggak ada masalah apa-apa, Mikkel. Aku cuma capek."
Mikkel mengumpat panjang di dalam hati. Kalimat sakti 'nggak ada apa-apa' sudah dikeluarkan. Ini tidak bisa dianggap remeh. Pasti Mikkel sedang dalam masalah besar. "Kita pulang kalau begitu. Istirahat sebentar. Kalau nanti tidak capek, kita bisa jalan-jalan lagi."
Selama menunggu Mikkel mengurus pembayaran, Liliana hanya melamun.
"Aku nggak ingin pulang," kata Liliana saat Mikkel menggandeng tangannya keluar dari Ra Epok untuk mengambil sepeda.
Mikkel menatap Liliana putus asa. "Tadi katanya capek?"
Liliana bukan capai badannya. Tetapi hatinya. "Apa kamu mau menunjukkan padaku, apa saja yang kamu suka dari kota ini? Yang bikin kamu betah di sini dan nggak ingin pulang?"
Kalau disuruh menunjukkan apa yang disukai dari kota ini, Mikkel tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Kota yang disukainya tentu saja kota di mana Liliana berada. Tetapi memilih tempat tinggal tidak bisa berdasarkan suka atau tidak suka saja bukan?
"Gimana kalau kita belanja? Kamu bisa cari oleh-oleh untuk ibumu dan teman-temanmu. Siapa tahu ada yang menarik." Mikkel mengusulkan aktivitas sederhana yang menyenangkan. Siapa yang tidak suka disuruh belanja? Apalagi belanja memakai uang orang lain.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku di pantai tadi." Mikkel sengaja mencari topik pembicaraan lain saat mereka naik sepeda bersisisan. Salah satu yang dia suka dari Liliana, memang Liliana gampang marah, tapi juga cepat lupa dengan kemarahannya.
"Yang mana?"
"Kenapa kamu menyukaiku? Bukan Afnan?" Mikkel ingin tahu alasan Liliana.
"Kenapa aku mencintaimu?" gumam Liliana tanpa memelankan laju sepedanya. "Karena kamu adalah kamu. Apakah ada alasan untuk mencintai seseorang selain itu?" Seandainya saja cinta cukup untuk menjamin mereka bisa bersama.
***
Musim panas adalah masa di mana siang hari berlangsung lebih lama daripada malam hari. Pukul delapan malam matahari belum terbenam, masih tergantung tiga puluh derajat di ufuk sebelah barat. Semua kedai kopi dan es krim menyediakan tempat duduk di luar ruangan. Pukul sembilan malam, matahari baru merangkak turun dan seluruh kota berbalut cahaya oranye. Indah sekali. Pada pukul sepuluh malam matahari baru benar-benar menyentuh peraduan sebelum akhirnya sempurna menghilang. Musim panas di sini berbeda dengan musim kemarau di Indonesia. Panasnya tidak menyengat meskipun matahari bersinar. Dan berkebalikan dengan di Indonesia, di sini Liliana suka menghabiskan waktu di luar ruangan. She might hate the heat, but she definitely doesn't hate sunlight.
Di musim panas, orang tidak perlu buru-buru pulang kalau sedang jalan-jalan. Karena, ya memang belum gelap, meski sudah malam. Masih banyak yang bisa dilakukan di luar rumah. Berenang, berjemur, apa saja. Sebelum tidur, Liliana selalu berdiri di teras sempit apartemen Mikkel. Memandangi Nordic summer night sky yang berwarna biru dengan semburat warna oranye dan merah muda. Tidak akan pernah bosan Lilian menatap cakrawala dan mengagumi lukisan indah Yang Mahakuasa. Melewati malam yang belum gelap adalah pengalaman yang tidak akan pernah bisa dilupakan. Kalau Liliana mengikuti keinginan Mikkel untuk menikah dan tinggal di sini, Liliana akan bisa menikmati senja yang mengagumkan seperti ini setiap hari.
Walaupun, kalau Liliana dan Mikkel menikah, keseharian tentu tidak akan sesederhana main rumah-rumahan mereka kali ini. Tidak mungkin setiap sore Liliana akan bisa bersantai memandangi langit seperti ini, sementara itu Mikkel sibuk memasak makan malam. Pasti Liliana juga dapat giliran untuk menyiapkan makanan. Juga tidak mungkin mereka selalu menghabiskan satu hari dengan jalan-jalan saja, sambil tertawa dan bergandengan tangan. Mereka akan sama-sama bekerja, akan bertengkar dan lain sebagainya. Akan ada anak-anak. Tantangan dan tugas yang lebih berat akan menanti.
####
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Days of Summer
RomanceDari Penulis Pemenang The Wattys 2021 Kategori Romance: Lund. Adalah satu-satunya kota yang berhasil diadopsi oleh Mikkel Moller. Bukan Copenhagen, kota kelahiran ayahnya. Juga bukan Jakarta, kota kelahirannya. Lebih dari sepuluh tahun Mikkel memban...