"Calon mantu. Calonnya Mikkel." Saat bertemu dengan mertua Lily di Food Hall, Liliana dikenalkan sebagai calon istri Mikkel oleh ibu Mikkel. Meskipun saat itu, sekitar tiga tahun yang lalu, Liliana dan Mikkel belum membahas pernikahan sama sekali, lebih-lebih membicarakan rencana tersebut bersama orangtua masing-masing. Tetapi ibu Mikkel sudah sangat percaya diri mengatakan bahwa Liliana akan menjadi bagian dari keluarga mereka. Sesuatu yang membuat hati Liliana, tanpa bisa dicegah, buncah dengan kebanggaan dan kebahagiaan.
Oh, kita harus mengakui ini. Bahwa dikenalkan kepada orangtua pacar adalah salah satu pencapaian penting dalam hidup seseorang. Menandakan bahwa kekasih kita bangga dan bahagia dengan pilihannya, sampai tidak sabar untuk menunjukkan kepada orangtuanya. Menunjukkan keseriusan untuk melanjutkan hubungan untuk waktu yang lama—sampai mati.
Apa laki-laki mengenalkan setiap wanita yang dikencani kepada orangtuanya? Sepertinya tidak. Banyak yang justru menyembunyikan pacarnya dengan berbagai macam alasan, yang kadang-kadang tidak masuk akal.
Pertanyaan ibu Mikkel barusan membuat kebahagiaan-dikenalkan-sebagai-pacar langsung berubah menjadi penyesalan-dikenalkan-sebagai-pacar. Kalau Liliana dan Mikkel tidak bisa menyepakati bagian akan-hidup-di-negara-mana-setelah-menikah dan mereka harus mengakhiri hubungan, akan jadi apa hubungan baik Liliana dengan ibu Mikkel? Liliana harus bersikap bagaimana? Pada saat seperti ini Liliana didera penyesalan. Seharusnya mereka tidak buru-buru membuka hubungan kepada orangtua sebelum punya solusi pasti untuk masalah terbesar mereka.
"Kami belum membicarakan itu. Papa apa kabar, Ma?" Mikkel menjawab.
"Papa baik. Oh, ini Papa ada di sini." Kamera bergerak dan kini menyorot laki-laki yang sedang duduk di sofa sambil membaca.
Sepasang mata birunya sama persis dengan milik Mikkel. Setiap kali melihat ayah Mikkel, Liliana mendapat gambaran akan terlihat seperti apa Mikkel tiga puluh tahun lagi. Bukan bertambah tua, tapi bertambah luar biasa. Berkharisma dan bijaksana.
Ayah Mikkel tersenyum dan menutup bukunya. "Maafkan Mikkel, Liliana. Kalau ayahmu masih ada, pasti dia tidak mengizinkanmu pergi jauh-jauh ke sana untuk menemui Mikkel. Meskipun dia anak Papa...."
"Anak kebanggaan." Mikkel menimpali.
"...tapi Papa tidak bisa memercayakan perempuan sebaik dirimu kepadanya. Kamu tahu? Lily Papa nikahkan karena Papa tidak percaya pada Linus."
Mikkel tertawa santai. "Bukankah Papa mengizinkan anak perempuan kesayangan Papa menikah, karena sangat memercayai dan menyukai Linus?"
Perhatian ayah Mikkel kini bergeser sepenuhnya pada Mikkel. "Apa susahnya pulang dan menemui Liliana, Mikkel? Bukan malah menyuruhnya menempuh perjalanan jauh sendirian seperti itu. Papa tidak tahu kenapa kamu bisa tahan tidak bertemu dengannya selama setahun."
"Kami punya pertimbangan sendiri." Kata-kata ayah Mikkel berpotensi membuat rencana Mikkel untuk meyakinkan Liliana agar mau pindah ke sini gagal total. "Kami akan punya jalan keluar sendiri untuk hubungan kami."
"Jalan keluar seringkali tidak menguntungkan kedua belah pihak." Meja mereka hening sesaat, Liliana dan Mikkel merenungkan kalimat sederhana dari ayah Mikkel. "Dengar nasihat Papa, Liliana. Kalau seorang laki-laki mencintaimu, dia akan mengorbankan apa saja untuk bisa bersamamu. Sebab hidupnya hanya akan sempurna, asal bersama dengan orang yang dicintainya. Jika dia diam saja dan tidak melakukan usaha apa-apa supaya kalian bisa bersama, well, meski anak Papa, Papa akan menyarankanmu untuk berpisah saja."
"Ini yang anak kalian siapa? Kalian memihak siapa?" Mikkel menggerutu pelan.
"Oh, iya, Mama juga ingin mengatakan ... sesuatu, Liliana. Mama tahu kalian saling mencintai. Tapi Mama pikir akan lebih baik kalau kalian bisa menjaga diri, supaya nanti tidak menyesal seandainya anak Mama itu berbuat bodoh dan—
"Astaga! Aku tidak melakukan apa-apa. Aku tidak akan meninggalkannya kalau terjadi apa-apa." Mikkel memotong kalimat ibunya meski tahu itu tidak sopan. Ada apa dengan kedua orangtuanya hari ini? Ingin membuatnya terlihat bodoh dan payah di mata Liliana? "Kalau Mama dan Papa sudah tidak mau menerimaku lagi sebagai anak kalian, tolong bilang saja. Aku akan mendaftar untuk diadopsi."
"Tidak ada yang mau mengadopsi orang yang sudah bisa bikin anak, Mikkel." Ibu Mikkel tertawa mendengar gerutuan Mikkel. "Kalian tinggal bersama, berdua, agak lama di sana. Jangan lupa mmm ... protection ... maksud Mama."
Mendengar itu, Liliana ingin menceburkan dirinya ke laut. Jadi orang mengira dia ke sini untuk memuaskan kebutuhan biologisnya dan Mikkel? Bahkan orangtua Mikkel juga berpikir demikian. Betul apa kata ayah Mikkel tadi. Mendatangi seorang laki-laki yang tinggal sendiri di sini tidak seharusnya dilakukan. Karena bisa menimbulkan fitnah.
"Mama menganggap Liliana sebagai anak sendiri dan tidak rela kalau Liliana disakiti laki-laki tidak bertanggung jawab, Mikkel." Ibu Mikkel menambahkan.
Liliana semakin merosot di kursinya. Benar ada rasa sakit yang menunggunya. Sulit dibayangkan seberapa besar rasa sakit yang akan dia rasakan nanti, saat meninggalkan Mikkel dan kenangan mereka di sini.
Mikkel masih melanjutkan percakapan dengan ibunya. Lily—dengan Linus mengintip di balik punggungnya—bergabung pada video call mereka kali ini. Ramai sekali meja mereka, meski teknisnya mereka hanya duduk berdua. Nanti, kalau Liliana menikah, Liliana ingin punya beberapa anak. Supaya seru seperti ini. Dan ketika sudah menikah, Liliana ingin anak-anaknya bisa mengunjungi neneknya—ibu Liliana, yang tinggal sendirian setelah suami tercinta meninggal—setiap minggu. Menghujani neneknya dengan pelukan dan ciuman, secara langsung, bukan melalui kamera seperti ini.
"Maafkan Mama kalau Mama banyak bicara. Namanya orangtua, tugasnya membuat sebal anaknya. Kalau Mama tidak cerewet, berarti Mama tidak sayang lagi kepada kalian. Sudah dulu ya. Kalian baik-baik di sana. Jangan bertengkar. Mama senang melihat kalian tertawa bersama seperti itu. Dan ingat pesan Mama tadi, Liliana, Mikkel. Mama serius." Tepat saat makanan mereka datang, ibu Mikkel mengakhiri panggilan.
"I love you too, Ma." Mikkel paham bahwa kalimat-kalimat ibunya yang panjang sekali tadi bisa disimpulkan dalam satu kalimat saja. I love you. "Sama anak laki-laki favoritnya ini, Mama selalu begitu. Kalau sama Afnan, Mama tidak pernah ceramah. Karena dia anak baik, kata Mama." Kalau dibandingkan dengan Afnan, semua sikap Mikkel terlihat lebih tercela. Sejak dulu selalu seperti itu. Afnan lebih memilih untuk mengerjakan semua hukuman dari orangtua mereka dalam diam, sedangkan Mikkel mempertanyakan, bahkan berusaha mendapatkan pengurangan atau penangguhan. Dilarang keluar rumah setelah pulang sekolah, Afnan duduk membaca buku. Mikkel? Kabur dan mengarang banyak alasan. Setiap mendapat nilai bagus, Afnan tidak ribut meminta penghargaan. Tidak seperti Mikkel, yang setiap ganti semester harus mendapatkan video game baru dan kenaikan uang saku.
"Aku nggak akan pernah ke sini lagi," keluh Liliana setelah Mikkel menyimpan ponselnya. "Jadi orangtuamu berpikir aku ke sini cuma karena ingin tidur sama kamu? Apa mamaku juga berpikir begitu? Mati saja aku kalau begitu." Nama baiknya tercemar sudah. Perlu waktu yang lama untuk meyakinkan ibunya agar mengizinkannya mengunjungi Mikkel di sini. Dan ini penilaian yang dia dapat?
"Lil, Mama dan semua orang tahu cintaku padamu lebih dalam daripada itu. Aku laki-laki dewasa dan aku bisa mengontrol kebutuhanku." Mikkel menyentuh tangan Liliana. Ibu jarinya bergerak di punggung tangan Liliana. "Mama cuma mengingatkan siapa tahu aku khilaf."
####
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Days of Summer
RomanceDari Penulis Pemenang The Wattys 2021 Kategori Romance: Lund. Adalah satu-satunya kota yang berhasil diadopsi oleh Mikkel Moller. Bukan Copenhagen, kota kelahiran ayahnya. Juga bukan Jakarta, kota kelahirannya. Lebih dari sepuluh tahun Mikkel memban...