Menikah Dan Tinggal Di Sini?

4.5K 673 20
                                    

"Liburan, Mikkel. Bukan tinggal. Kota ini bagus banget. Aduh, memori HP-ku mau penuh. Dan aku nggak bawa laptop. Kamu tolong pindahin semua foto ke cloud dong. Aku sudah janji akan nunjukin foto-foto itu ke Mama ... tapi tolong foto-foto yang kita ciuman kamu pisahkan ke folder lain. Mama bisa jantungan kalau lihat."

"Apa kamu mau tinggal di sini?" Mikkel mengabaikan Liliana yang sedang mengalihkan pembicaraan. "Dulu kamu yang paling bersemangat membicarakan masa depan, kenapa sekarang terus menghindar? Apa kamu punya pertimbangan lain untuk hubungan kita?"

"Masih perlu kamu tanyakan?" Bukankah jawabannya sudah jelas? Jelas tidak. Liliana tidak akan tinggal di sini. Kenapa Mikkel tidak paham juga?

"Aku ingin tahu pendapatmu, Lil. Aku sudah banyak berpikir setahun terakhir. Kita sudah bersama lama. Kita harus mulai mempertimbangkan pernikahan. Aku ingin menikah denganmu."

Hari ini, anak-anak muda memang hidup dengan pemikiran bahwa zaman sudah jauh berubah, sudah berbeda dengan zaman orangtua mereka dulu. Di masa lalu orang menikah pada awal usia dua puluhan, kalau tidak, akan dianggap perawan tua dan bujang lapuk. Sekarang—di Lund terutama—sudah lazim orang menikah di pertengahan hingga akhir tiga puluh tahun. Tidak dihitung terlambat, karena ada banyak cita-cita yang ingin lebih dulu diwujudkan, sebelum menghidupkan mimpi yang tidak kalah besar. Berkeluarga.

"Ibumu pasti juga sudah menanyakan itu kan? Sudah ingin melihatmu menikah?" Karena Liliana tidak juga menjawab, Mikkel malanjutkan.

Untuk wanita, sebagian besar masih memikirkan biological clock, yang semakin kencang berdentang sebelum akhirnya nanti berhenti. Sehingga saat usianya memasuki akhir dua puluhan, mereka sudah serius memikirkan pernikahan. Liliana berada pada fase ini dan wajar jika satu tahun terakhir Liliana membawa-bawa terus topik ini setiap kali ada kesempatan. Hanya saja Mikkel banyak menghindar. Sekarang, Mikkel sudah siap dan sepertinya, ganti Liliana yang mundur.

"Wow." Liliana menyindir Mikkel. "Ternyata kamu bisa memikirkan pernikahan juga? Kukira cuma pendidikan, karier dan riset yang kamu pikirkan." Untung tidak ada yang mengerti bahasa Indonesia. Wanita muda yang duduk satu meja dengan mereka, tenggelam dalam buku yang sedang dibacanya. Selain Mikkel, mana ada orang yang membahas pernikahan di perpustakaan kampus?

"Pendidikanku sudah selesai, Lil. Aku sudah punya karier yang menjanjikan. Sekarang aku memikul tanggung jawab yang lebih besar. Membahagiakanmu. Bersama-sama membesarkan anak kita." Mikkel tidak melepaskan tatapannya dari wajah Liliana. "Aku memang masih bisa menikmati kebebasan sampai lima atau enam tahun lagi, tapi aku tidak ingin. My life is better with you in it. Because ... you bring all the best in me.

"Aku sudah lama hidup sendiri dan aku sangat bisa mengurus diriku sendiri. But I need companionship and support. Aku siap memberikan hal yang sama kepadamu." Yang Mikkel butuhkan adalah teman hidup. Tempat mencurahkan cinta. Hidupnya baru akan lengkap jika Liliana ada di sisinya. Bersama Liliana, Mikkel akan menertawakan kegagalan dan merayakan keberhasilan.

Apa lagi yang dipikirkan Liliana? Jawaban Liliana seharusnya adalah setuju. Usia Liliana sudah dianggap sangat cukup untuk menikah, menurut ukuran orang Indonesia. Bahkan sahabat Liliana, adik perempuan Mikkel, Lily, sudah menikah sejak usia dua puluh tiga tahun. "Jadi bagaimana menurutmu, kalau kita menikah dan kamu tinggal di sini? Bersamaku?"

"Aku nggak bisa, Mikkel. Aku sudah jelaskan berkali-kali bahwa aku nggak bisa. Mamaku sendirian di sana. Mama sudah kehilangan Papa, apa harus kehilangan aku juga?" Lagi-lagi Liliana harus mengulang kenyataan ini. Mikkel ini amnesia atau apa?


Sambil menunggu makanan mereka datang, petang ini Mikkel melakukan video call rutin dengan ibunya. Satu lagi perbedaan cara hidup Mikkel yang berbeda dengan Liliana. Kalau Liliana tidak tahan hanya bisa video call dengan pacarnya, bagaimana Mikkel bisa bertahan hidup hanya dengan berkomunikasi seperti ini dengan orangtuanya? Berapa lama Mikkel menjalani hidup seperti ini? Sepuluh tahun? Sebelas? Lebih? Pertanyaan yang lebih penting, sampai kapan? Sampai kapan Mikkel akan hidup seperti ini? Membayangkan saja Liliana tidak sanggup.

"Kalau melihat kalian bersama seperti ini, Mama tidak sabar ingin melihat seperti apa anak-anak kalian nanti." Suara ibu Mikkel ikut terdengar di meja bundar di tepi pantai Barfota.

Tubuh Liliana ditarik merapat oleh Mikkel, agar penuh terlihat di kamera. Meja mereka tepat menghadap ke laut dan sejak tadi Liliana sibuk menjaga rambutnya agar tidak ke mana-mana. Angin laut berembus cukup kencang malam ini dan Liliana tidak membawa ikat rambut.

"Pasti ganteng atau cantik." Mikkel yang menjawab sementara itu Liliana hanya tertawa kecil. "Semuanya mirip Liliana. Hidungnya saja nanti yang mirip aku."

"Maksudmu hidungku jelek? Nggak pantas diturunkan?" Liliana protest.

"You are one hundred percent perfect, Sweets. Cuma ... kupikir aku tidak punya kebaikan lain untuk diturunkan kepada anak kita nanti. Selain hidung. Kamu kan yang bilang hidungku bagus. Apa kamu keberatan?"

Ibu Mikkel tertawa mendengar percakapan mereka. "Jangan lama-lama di sana, Liliana. Sepi tidak ada kamu. Mama tidak ada teman jalan-jalan di sini."

"Mama...." Mikkel mengerang panjang. "Jangan mengacaukan rencanaku. Aku berusaha membuatnya tinggal di sini. Kok malah disuruh pulang. Yang mau menikah sama Liliana kan aku, bukan Mama. Mama jangan membiasakan diri ke mana-mana ditemani pacarku dong."

"Sebentar lagi juga sudah pulang kok, Ma...." Kenapa Liliana merasa sangat sedih mengingat kebersamaannya dengan Mikkel akan berakhir sebentar lagi? Cepat sekali waktu berlalu. Rasanya baru kemarin dia mendarat di sini.

"Mama kangen, sudah lama tidak ketemu kalian."

"Mama iri ya, karena aku bisa begini sama pacarku?" Mikkel sambil mencium pipi Liliana.

Liliana langsung mendorong Mikkel menjauh. Kalau dibiarkan, Mikkel bisa mencium bibir Liliana di depan ibunya juga. Memang tidak kenal situasi laki-laki ini.

"Mama tidak ada teman di sini. Bosan setiap hari pergi sama orang Denmark. Belakangan orangnya sedang menyebalkan sekali." Keluhan ibu Mikkel membuat Liliana tersenyum. Kalau melihat bagaimana mesranya orangtua Mikkel hingga saat ini, orang pasti akan langsung seratus persen percaya cinta sejati benar-benar ada.

"Nanti aku ke rumah Mama setelah pulang dari sini." Semua anak di keluarga Mikkel pergi ke luar negeri untuk belajar dan bekerja. Kembaran Mikkel di Denmark dan Lily tinggal bersama suaminya di Jerman. Pantas kalau orangtua Mikkel kesepian.

Liliana sudah akrab dengan keluarga Mikkel jauh sebelum Liliana dan Mikkel memutuskan untuk pacaran. Faktor ini yang membuat stempel persetujuan dari orangtua Mikkel langsung didapat, saat Liliana dikenalkan dengan status baru. Pacar Mikkel. Sejak saat itu dia tidak lagi datang ke rumah Mikkel sebagai teman Lily. Setelah naiknya level hubungan mereka, ibunda Mikkel semakin sering mengirim pesan dan mengajak Liliana keluar. Belanja, makan siang, dan melakukan banyak kegiatan lain. Mungkin akibat dari tidak punya anak sama sekali di rumah.

####

Seven Days of SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang