"Look at the sunset, Sweets," bisik Mikkel, menyuruh Liliana memandang garis di mana langit dan laut bertemu. "Aku ingin kamu selalu percaya bahwa hari yang paling buruk sekalipun bisa akan berakhir dengan indah. Aku berharap cinta kita juga sama. Tidak peduli berapa banyak kesulitan yang kita hadapi, aku ingin cinta kita berakhir dengan indah." Hari ini terlalu sempurna, dan Mikkel yakin hari-harinya setelah hari ini tidak akan pernah sama lagi. Tanpa Liliana di sini bersamanya, setiap hari akan tersa hampa dan tidak berwarna.
"Aku nggak mau cinta kita berakhir, Mikkel. Dengan indah atau nggak indah." Liliana tersipu mendengar Mikkel menyatakan cinta. Selalu saja seperti itu. Walau telah beratus kali mendengar, apa yang dirasakan Liliana tetap sama dengan saat yang dirasakan saat mendengar pernyataan cinta Mikkel untuk pertama kali.
Makanan penutup pilihan Liliana, chocolate truffle, telah terhidang di meja. Matahari tengah tenggelam tepat di hadapan mereka. Kalau bisa, Liliana ingin menyimpan kenangan ini di dalam botol kaca. Sehingga bisa melihatnya kapan saja dia menginginkannya. Lebih-lebih suatu hari nanti, jika hubungannya dengan Mikkel benar-benar harus berakhir di sini. Di Swedia.
***
Hari terakhir di Lund, Liliana memilih untuk menghabiskan waktu di apartemen Mikkel. Besok pagi, dia dan Mikkel akan berangkat ke Copenhagen, mengunjungi kakek dan nenek Mikkel, lalu pada sore hari mereka akan menghadiri evening party mantan pacar Mikkel. Suasana hati Liliana sedang tidak baik. Sebagian karena akan mengakhiri hari-hari bagai mimpi di sini, dan sebagian lagi karena Liliana sadar, hari kepulangannya ke Indonesia adalah hari terakhir dia menyandang status kekasih Mikkel. Setelah ini, dalam hidupnya, Mikkel akan kembali menjadi kakak dari sahabatnya. Liliana menggelengkan kepala, sebaiknya dia menikmati tiap detik yang tersisa. Tidak perlu memikirkan apa yang belum tentu terjadi. Siapa tahu Mikkel bersedia mengalah untuk pulang ke Indonesia, menikah dengan Liliana dan tinggal di sana.
"Mikkel, kamu dengerin aku nggak, sih?" Dengan jengkel Liliana menarik hidung Mikkel. Sejak bangun tidur tadi, mereka berdesakan di atas sofa putih di depan TV.
"Dengar tujuh puluh lima persen saja, Sweets." Mikkel memeluk tubuh Liliana, yang seperti sengaja diciptakan untuk dilingkupi tubuh besar Mikkel.
"Tujuh puluh lima? Perhatianmu ggak sampai sembilan puluh persen?" Liliana mengikuti permainan persen-persenan Mikkel.
"Ya ... konsentrasiku cuma segitu. Tidak apa-apa, kan, kamu cuma rugi lima belas persen. Ini lebih baik, biasanya kalau bersamamu begini aku tidak bisa berpikir sama sekali." Tadi Liliana mengomentari komentar teman-temannya di Instagram, lalu membacakan pesan di WhatsApp dari ibunya, Mikkel tahu. Hanya Mikkel tidak terlalu menyimak apa isinya.
"Seratus dikurangi tujuh lima itu dua lima. Bukan lima belas," koreksi Liliana.
"Kamu tahu aku lemah di aritmatik," kata Mikkel dengan mata setengah terpejam. "Tidak ada manusia yang sempurna. Kecuali kamu."
"Gimana mungkin kamu bisa jadi engineer kalau berhitung aja nggak bisa?" tukas Liliana.
Mikkel tertawa dan kali ini matanya terbuka sepenuhnya. Dengan satu gerakan, Mikkel mencuri ciuman dari bibir Liliana. "Nanti malam aku akan mengajakmu makan berdua."
"Setiap hari kita makan berdua, Mikkel."
"Romantic dinner, Lil. Yang lampunya remang-remang, harus pakai gaun dan jas, piringnya besar tapi makanannya sedikit." Pagi ini Liliana mengenakan sweater usang dan kebesaran milik Mikkel. Liliana tenggelam di dalamnya. Cute yet sexy. Membuat Mikkel hampir gagal menahan otaknya tetap di tempat, tidak pindah ke bawah.
Selama di Lund, Liliana tidur memakai baju Mikkel, karena sengaja tidak membawa baju rumahan dari Indonesia. Alasan Liliana supaya menghemat tempat dalam koper. Mikkel tidak keberatan. Baju Mikkel tidak pernah terlihat sebagus itu di tubuhnya sendiri. Liliana adalah jenis orang yang cocok memakai apa saja. Atau tidak memakai apa-apa.
Get a grip, Mikkel. Sebuah suara di kelapanya memperingatkan.
"Kalau begitu, sebagai gantinya, aku akan bikinin kamu sarapan," usul Liliana.
"Mi instan? Rasa ayam bawang?" Mikkel meloncat duduk dengan antusias.
Permintaan Mikkel membuat Liliana tertawa. Kenapa Liliana tidak sempat membawa banyak baju? Karena dia mengisi kopernya dengan mi instan pesanan Mikkel.
Selama di sini, banyak hal yang sudah dilakukan Mikkel untuk Liliana, yang membuat Liliana sangat bahagia. Wreath, bunga mawar, jalan-jalan yang edukatif dan menyenangkan, makan malam di tepi laut, dan banyak lagi. Untuk membayar semua itu, Liliana hanya perlu membalasnya dengan semangkuk mi instan. Kalau mereka menikah suatu hari nanti, Liliana yakin Mikkel tidak akan menjadi suami yang merepotkan. Iya, tetap kalau.
Biasanya Liliana bukan orang yang pesimis. Sebelum ini Liliana juga punya mimpi dan harapan. Bayangan kehidupan—bersama Mikkel—di masa depan sering menari dengan indah dalam benaknya.
Liliana selalu percaya bahwa cinta akan menyediakan jalan keluar untuk segala masalah di antara mereka. Bukankah orang bilang dengan cinta, jika mau, kita bisa memindahkan gunung Merapi dari Indonesia ke Swedia, membangun jembatan dari Lund hingga Jakarta, atau mendekatkan kedua kota tersebut sehingga cukup ditempuh dengan bus antarkota? Tetapi kali ini, rasa optimis dalam diri Liliana mulai menipis. Setiap menit yang berlalu, menjelang kepulangannya ke Indonesia, mengikis keyakinannya. Apakah cinta bisa menjamin mereka akan tetap bersama esok hari?
***
"I hope you know CPR." Sejak tadi pandangan Mikkel tidak lepas dari wajah cantik Liliana. Lampu kristal di atas kepala mereka meancarkan sinar keemasan yang lembut, membuat rambut hitam Liliana berkilau indah. Liliana dengan sweater kebesaran dan usang? Cute. Liliana dengan gaun hitam seperti ini? Elegant.
"Kamu pikir aku anak PMR?" Liliana meletakkan pisau dan garpunya dengan hati-hati. Dia tidak tahu apa zaman sekarang masih ada organisasi seperti itu di setiap sekolah.
Malam ini adalah kencan makan malam terakhir dengan Mikkel di kota ini. Mereka duduk di Grands Matsal. Mikkel sudah melakukan reservasi sejak sebelum Liliana tiba di Lund. Tangan Liliana menyentuh gelas di depannya. Yang tampak rapuh sekali, seperti hatinya malam ini.
"Because you take my breath away." Mikkel meraih tangan Liliana dan menggenggamnya. "Ini minggu terberat dalam hidupku. Bersamamu setiap hari seperti aku sedang berada di surga. Tapi tidak bisa menyentuhmu, well, itu terasa seperti neraka. Setiap kali menciummu, Lil, aku selalu ingin melakukan lebih dari itu."
Liliana mengangguk setuju. Memang berat sekali tinggal serumah dengan laki-laki dan tidak menikah. Karena mereka hanya manusia biasa dan memiliki batas pengendalian diri. Jika lebih lama berada di sini, Liliana tidak tahu apa yang akan terjadi. Setan semakin punya banyak kesempatan untuk menghasut mereka.
"You look good yourself," puji Liliana.
Malam ini Mikkel juga tidak kalah memukau. Mikkel mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih, single breasted blazer dan celana dengan warna senada dengan gaun Liliana. Juga brogue berwarna hitam. In a fairness, he takes her breath away too.
####
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Days of Summer
RomanceDari Penulis Pemenang The Wattys 2021 Kategori Romance: Lund. Adalah satu-satunya kota yang berhasil diadopsi oleh Mikkel Moller. Bukan Copenhagen, kota kelahiran ayahnya. Juga bukan Jakarta, kota kelahirannya. Lebih dari sepuluh tahun Mikkel memban...