Is this the end?

693 60 16
                                    

Reinhard menatap pemuda di hadapannya. Matanya sembab. Wajahnya pucat. Ia terlihat sangat letih. Hanya beberapa detik matanya menatap Rei, pemuda itu lalu menunduk.

Dimana ia tidur semalam? Apa ia sudah makan? Melihat keadaan Angga begini, Rei mulai bertanya di dalam hatinya.

"Honey, siapa sih?"

Angga terkejut melihat seorang wanita cantik dengan gaun tidur berbahan tipis, memperlihatkan lekukan tubuhnya, keluar dari kamar tidur Rei dan memeluk Rei dari belakang.

"Bukan siapa-siapa kok, Honey. Ini dia cuma mau ambil barang sebentar. Tunggu di kamar aja." Ucap Rei dengan intonasi yang sengaja dibuat sangat lembut, setelah mengecup pipi wanita itu. Rei memang sengaja melakukan itu dihadapan Angga. Ia ingin tahu reaksi Angga.

Bukan siapa-siapa. Luka hati yang masih menganga lebar terasa seperti terkena tetesan air garam. Perih bukan main. Angga menggigit bibirnya kuat-kuat sampai berdarah lagi.

Rei benci melihat Angga seperti itu. Hatinya terasa sakit.

"Mau sampai kapan berdiri di situ?" Rei bertanya ketus, berusaha membuat Angga berhenti menyakiti bibirnya.

Angga meminta ijin masuk dan berjalan menuju kamar tamu, kamarnya selama 3 bulan terakhir. Ia berusaha membereskan barang-barangnya dengan cepat.

Ketika membuka lemari, Angga melihat kotak dari jam yang sedang melingkar di tangan kirinya. Sejenak ia terpaku, terlempar ke masa indah beberapa waktu lalu.

Jam ini cuma benda mati, Ga. Lu jelas lebih berharga dibanding jam ini. Kata-kata Rei terngiang lagi.

Benarkah ia berharga? Adakah seseorang yang menganggapnya berharga? Siapa?

Angga melepaskan jam tangannya dengan gemetar. Ia menaruh jam tangannya di kotak tersebut lalu meletakkannya di meja nakas di samping ranjang. Angga merasa tidak berhak mengambil jam itu. Menurut Angga, kalau semuanya hanya pura-pura berarti hadiah atau apapun yang diberikan Rei juga hanya pura-pura diberikan padanya. Karena itulah, ia tidak ingin mengambilnya. Ia juga meletakkan ponsel canggih yang diberikan Rei dan mengambil ponsel lama miliknya yang sudah sangat ketinggalan jaman.

Angga hanya mengambil barang yang benar-benar miliknya. Beberapa potong baju, celana dan buku-buku kuliah ia masukkan ke dalam ranselnya.

"Thanks." Ucap Angga pelan pada Rei di depan pintu, lalu segera keluar dari apartemen.

Rei ingin menahan Angga. Ia butuh penjelasan. Namun Angga tidak terlihat ingin menjelaskan apapun. Ego dan harga diri akhirnya mengalahkan hatinya. Ia membiarkan Angga berlalu. Rei menutup pintu apartemennya.

Angga baru sadar ia tidak bisa turun melalui lift. Di apartemen ini, naik maupun turun lift harus menggunakan kartu akses. Tadi, ia sudah meletakkan kartu akses miliknya di meja nakas bersama dengan jam tangan dan ponsel dari Rei.

Setelah menutup pintu, Rei berjalan menuju ke kamar Angga. Mengapa Angga dengan begitu mudahnya pergi dan meninggalkan semuanya? Apa ini berarti Angga juga hanya berpura-pura? Kenapa Angga tidak berusaha meyakinkan dirinya seperti sebelumnya?

Rei duduk di sisi ranjang yang selama 3 bulan terakhir menjadi tempat tidur Angga. Rei menarik napas pelan, entah mengapa ia merasa kehilangan. Rei menoleh dan melihat kartu akses apartemen di meja nakas. Rei segera menyadari sesuatu. Ia berlari keluar kamar apartemennya, mencari Angga. Namun ia tidak menemukan Angga di sekitar lift maupun di lorong.

Rei melihat pintu tangga darurat. Ia berlari menuruni tangga darurat. Di tangga menuju lantai 12, Rei melihat Angga duduk di tangga dengan membenamkan wajahnya di lutut. Rei berhenti sejenak dan mulai menuruni tangga dengan perlahan. Rei menghentikan langkahnya ketika berselisih 2 anak tangga dari tempat Angga duduk.

First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang