Goodbye to you

692 41 18
                                    

Erlangga berbaring di ranjang, menatap ke langit-langit rumah sakit dengan perasaan takut, jarum suntik dan darah, yang menguasai pikirannya. Keputusan untuk berani mendonorkan darahnya adalah karena ingin menolong Rei.

Beberapa jam lalu setelah bertemu Angga, Rei mengalami kecelakaan. Lokasinya tidak jauh dari kedai ramen. Pikiran Rei yang kacau membuatnya tidak sadar ada kontainer melintas di hadapannya.

Entah kebetulan atau memang ini sudah rencana yang Empunya Semesta, golongan darah Erlangga sama dengan Reinhard.

Erlangga menggigit bibirnya. Jantungnya berdegup kencang. Telapak tangannya sudah dingin dan berkeringat.

Erlangga berusaha mengikuti panduan suster sampai semua proses pengambilan darah selesai.

Saat Erlangga sudah boleh meninggalkan ruangan, ia teringat akan sesuatu. Ia kembali masuk dan mendekati suster.

"Sus, boleh minta tolong?"

"Iya, ada yang bisa saya bantu?"

"Tolong jangan kasih tahu kalau saya yang donor untuk pasien itu!"

Suster menatap Erlangga dengan penuh tanya.

"Kenapa? Kamu teman pasien, kan? Beruntung pasien punya teman seperti kamu. Pasien dan keluarganya pasti akan berterima kasih sama kamu."

Angga diam sebentar lalu menjawab
"Nggak apa-apa, sus. Tolong jangan kasih tau ya, sus!"

Suster menghela napas pelan. "Saya nggak akan bilang apa-apa pada pasien dan keluarganya. Tapi bukan berarti mereka nggak akan tahu. Maksud saya, ada banyak cara selain dari saya."

Erlangga diam sejenak. Dia tahu Reinhard dan keluarganya bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan informasi apapun. Tapi seberapa penting bagi mereka tahu tentang siapa yang mendonorkan darah untuk Rei.

"Iya, sus. Terima kasih." Ucap Erlangga.

Setelah abah dan teman-temannya pulang, Erlangga lalu duduk di ruang tunggu sampai pagi menjelang. Terkadang ia berdiri. Berjalan mondar-mandir. Lalu kembali duduk. Dia begitu gelisah. Di dalam hatinya ia terus memohon pada Sang Empunya Kehidupan agar memberi Rei kehidupan.

Saat Angga melihat keluarga Rei datang, dia tidak mendekat. Ada Devan di tengah keluarga Rei. Angga memutuskan untuk meninggalkan rumah sakit.

Malam hari, setelah selesai bekerja ia kembali ke rumah sakit.

"Sus, saya mau tanya keadaan pasien bernama Reinhard."

Setelah perawat memeriksa data dan memberitahu Angga bahwa Rei masih berada di ruang ICU, Angga menuju ruang tunggu ICU. Dari agak jauh ia mencoba melihat orang-orang yang ada di ruang tunggu.

Tidak ada Devan disana. Tidak ada keluarga Rei disana. Karena itu, dia memberanikan diri untuk duduk di ruang tunggu.

Sampai matahari kembali bersinar, Angga baru meninggalkan rumah sakit.

Setiap malam setelah bekerja, Angga melakukan hal yang sama. Ia menginap di ruang tunggu rumah sakit.

Malam kelima, suster memberitahu Angga bahwa Rei sudah dipindahkan ke kamar perawatan biasa. Angga begitu senang mendengarnya.

"Sus, apa saya boleh melihat Rei sebentar?"

"Maaf, mas, tidak bisa. Ini sudah tengah malam. Sudah lewat jam besuk. Pasien butuh istirahat."

"Sebentar saja, sus. Saya janji nggak akan membangunkan Rei. Saya cuma mau lihat saja."

"Tidak bisa, mas. Ini sudah peraturan rumah sakit. Nanti saya bisa kena tegur. Ini juga untuk kebaikan pasien. Mas bisa kembali lagi besok."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 09, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang