"Ini" Angga menyerahkan selembar uang seratus ribu rupiah. "Sorry Rei gue ga bisa langsung ganti semuanya. Gue nyicil ya." Angga melanjutkan penjelasannya.
Sudah tiga hari berlalu Angga kembali melakukan aktivitas normalnya. Dengan bujuk rayu yang meyakinkan Angga hanya sehari dirawat di rumah sakit. Sejak itu intensitas pertemuan Rei dan Angga semakin banyak.
"Hah? nyicil apaan? gue ga jual apa-apa ke lu kayaknya"tanya Rei bingung.
"Biaya Rumah Sakit kemarin Rei" jawab Angga. Angga tidak enak hati rasanya tidak bisa langsung mengganti semua biayanya tapi ia tidak punya pilihan lain selain membayarnya bertahap. Jumlah Rp 5.845.875 yang ia lihat pada struk pembayaran dari Rumah Sakit membuatnya langsung sakit kepala. Hanya sehari saja sudah menghabiskan biaya sebesar itu. Fiuhh.
"pfftt"Rei menahan tawanya. Rei merasa ini lucu. "Emang lu pikir gue tukang kredit?"Rei tertawa lagi.
"Sorry banget Rei. Gue.. sekarang bener-bener baru ada segini. Gue janji kok pasti gue lunasin. Gue usahain sesering mungkin bayarnya biar ga terlalu lama." ucap Angga dengan wajah yang menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh.
Reinhard memperhatikan wajah Angga. Lagi-lagi perasaan itu muncul. Rasa iba pada pemuda dihadapannya.
Selama ini ia hanya mengenal dua tipe orang. Tipe pertama orang yang tidak mempermasalahkan soal uang karena dari keluarga kaya, cenderung akan menganggap 'ahh segini mah apa sih artinya'. Tipe kedua orang yang tidak punya uang jadi akan berpura-pura lupa kalo dibayarin dan ga akan mau membahas masalah ini atau sengaja dengan tidak tahu dirinya meminta uang dengan bahasa halus 'gue pinjem dulu nanti gue ganti' yang sebenarnya ga akan pernah diganti.
"Ga gue mau nanya. Jawab jujur ya." Rei akhirnya tidak tahan untuk bertanya. Bingung kok bisa pemuda di hadapannya menunjukkan bahwa ia orang tidak mampu. Kuliah di universitas ini tidak murah. Kalo dia tidak mampu kenapa bisa kuliah disini. Lagipula dengan 'kerja malamnya' itu harusnya dia punya uang.
"Nanya apa?" Angga membalas bertanya. Masih menatap Rei.
"Lu masih punya orang tua?" tanya Rei hati-hati
Angga diam sebentar. Mengalihkan pandangannya ke papan tulis di depannya lalu menjawab "Ayah ga ada. Ibu masih ada."
"ohh. " Rei diam sebentar. Ibunya single parent. Mungkin itu yang membuat ia harus menjadi tulang punggung keluarganya. Hmm jadi demi membiayai hidup keluarganya dia rela melakukan 'kerja malam'. Tapi kenapa harus kerja seperti itu. Masih banyak yang bisa ia kerjakan. ahhh anak jaman sekarang memang maunya yang gampang dan instant.
"punya kakak atau adik?" tanya Rei lagi
"adik perempuan satu" jawab Angga lagi.
"ohh". Jadi dia bener tulang punggung keluarganya. Rei masih memperhatikan Angga. Kasian juga dia. Ah tapi dia juga salah sendiri, maunya cari gampang dan instant. Hmm tapi dibilang gampang, sakit yang dia rasain kemarin? Mungkin dia ga tau kali ya bakalan ada resiko dapet klien ganas. Berapa sih tarifnya semalemnya? Kalo tarif sekali dateng satu juta, dapet klien 10 orang dalam sebulan aja udah sepuluh juta kan.
"Rei" panggil Angga menyadarkan Rei. "jadi gue boleh kan nyicil?" tanya Angga penuh harap.
Sebenarnya Rei bisa saja merelakan uangnya segitu. Dia termasuk tipe orang pertama yang 'ah segitu mah ga masalah' berhubung dia berasal dari keluarga pengusaha kaya. Tapiii.. "hmm gue pengen liat dia serius mau bayar atau cuma basa basi busuk" pikir Rei
"Kalo lu nyicil sebulannya seratus ribu. Berarti baru akan lunas empat tahun lagi dong" Rei menjawab dengan tersenyum.
Angga menunduk. Menatap ke lantai kelasnya. Ia benar-benar tidak enak hati. Tapi bagaimana, dia memang benar-benar tidak bisa membayar lunas sekarang. Gajinya di kedai ramen hanya satu juta tujuh ratus sebulan. Gajinya di perpustakaan ini cuma tiga ratus lima puluh ribu sebulan. Gajinya mengantar koran pagi hanya dua ratus ribu sebulan. Bisa menyicil seratus ribu sebulan juga karena dia memutuskan untuk makan apa saja yang maksimalnya lima ribu rupiah untuk siang hari. Dia harus cari tambahan pekerjaan di malam hari berarti. Tapi kerja apa yang dimulai jam sepuluh atau sebelas malam? Karena ia baru selesai bekerja di kedai ramen jam segitu.
"Udah keburu kawin kali gue nunggu empat tahun. Ya udah lah lu mending bay..." kalimat Rei terpotong saat Angga setengah berteriak "ahh gue tauu" untung saja kelas itu sudah kosong jadi tidak masalah Angga setengah berteriak.
"Apaaan sih. Bikin kaget aja lu. Tau apa?" Rei agak sedikit kesal karena tiba-tiba dikagetkan.
"Kalo cicilnya tiga bulan boleh?" Tanya Angga tersenyum senang.
"Lu mau ngapain tiga bulan?"
"Kerja" Angga masih tersenyum senang.
"Kerja? Kerja apa?" Tanya Rei dengan tatapan menyelidik.
"Gue baru inget. Iya bisa bisa. Semogaaa masih bisa."kata Angga semangat.
"Ga gue tanya kerja apa? Belum dijawab tuh"
"Kerja malam. Hahahaa. Yang penting boleh engga dicicilnya tiga bulan?" Tanya Angga masih semangat.
Kerja malam? Emosi Rei langsung terpancing. Ga trauma apa dia dapet klien ganas? Dengan mudahnya menjual dirinya hanya untuk uang segitu. Cih.
"Kerja malem? Jual diri? Gue ga bakalan mau terima uang haram." Rei bersuara agak keras sambil menatap Angga dengan emosi
Betapa terkejutnya Angga mendengar kata itu. Jual diri. Rei melihat wajah Angga langsung berubah. Kaget dan tak lama wajahnya berubah menjadi sedih. Angga mengalihkan pandangannya dari Rei, menatap lurus ke depan. Seperti menerawang.
Sekelebat potongan-potongan kejadian itu muncul di depan Angga. Kejadian-kejadian yang membuat Angga mimpi buruk hampir setiap malamnya sampai saat ini. Angga menggigit bibirnya, kali ini agak keras sampe bibir tipisnya terluka.
Rei bingung melihat kondisi Angga. Kenapa dia langsung berubah? Apa karena panik gue tau rahasia dia? Rei mendengus kesal. Bener kata Devan. Dasar Serigala berbulu domba.
"Kenapa diem? Bener tebakan gue?" Tanya Rei dengan nada menyindir.
Suara Rei membuat Angga tersadar bahwa sekarang dia sedang di kelas dan bicara dengan Rei. Bayangan kejadian-kejadian buruk itu menghilang. Angga mengusap wajahnya dengan tangannya. Wajahnya jadi pucat. Ia merasakan sedikit perih di bibirnya karena gigitannya sendiri.
"Engga. Gue bakalan bayar dengan kerja halal." Jawab Angga datar. Ia lalu berdiri. "Gue duluan." Dan kemudian berjalan menuju pintu.
Rei semakin emosi. Apa-apaan nih. Main pergi begitu aja. Harusnya gue yang marah. Kenapa jadi lu yang marah? Lu pikir lu bisa menghindar dari gue? Gue mau liat sejauh mana tingkat keahlian lu berakting jadi domba. Sial. Hampir aja gue masuk perangkap domba lu kemarin-kemarin. Hampir aja gue luluh karena melihat akting lemah lu, pura-pura jadi domba lemah yang dikelilingi serigala. Liat nanti. Hebatan mana akting gue atau lu. Rei pun berdiri keluar kelas. Menelepon Devan untuk mencari tau dimana Devan dan geng nya.
Angga berjalan cepat sambil berusaha menyingkirkan perasaan tadi. Ia berjalan menuju tempat favoritnya. Tak lama lapangan luas terhampar di depan matanya. Yah tak banyak orang tau tempat ini. Baru Rei yang berhasil menemukannya disini. Taman belakang bangunan kampusnya. Taman ini jarang ada orang yang tau karena harus melewati perpustakaan, letak pintunya ke taman itu agak disudut setelah rak buku besar dan tertutup gorden senada dengan tembok ditambah tidak semua orang bisa dengan mudahnya keluar ke taman ini dari pintu perpustakaan itu, ada pengait kecil dibawah dan diatasnya yang tidak begitu terlihat. Ia duduk menyandar di tembok. Meluruskan kakinya. Menarik napas membuangnya menarik lagi membuangnya lagi. Angga melakukannya beberapa kali sampai ia tenang.
"Ah iya jadi lupa". Angga mengambil ponsel jadulnya dari sakunya. Mengetik sebuah pesan. Bang, masih butuh orang ga buat proyek malem? Lalu mengirimnya pada kontak yang bernama Bang Jaka.
Ia kembali ke menu utama lalu melihat ada pesan masuk. Angga membukanya.
Bagaimana kabar mu nak? Saya bisa bertemu denganmu nanti malam? Sekalian mau kasih uang semester kamu. Ia memejamkan matanya. Jual diri. Kata yang diucapkan Rei tadi muncul lagi dengan jelas. Ada rasa perih yang menggores hatinya. Andai Rei tahu kenyataan sebenarnya dan masa lalunya, Angga yakin Rei tidak akan mau lagi berteman dengannya bahkan untuk melihat saja mungkin tidak akan mau. Rei pasti akan menyesal telah berbaik hati padanya. Hatinya semakin perih memikirkan itu. Seperti ada benda besar yang menekan hatinya. Sesak. Sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love
RandomDia orang pertama yang.. ..membuatku tersenyum dengan cinta.. ..membuatku merasakan indahnya cinta.. ..membuatku mengerti arti cinta.. ..membuatku jatuh cinta.. dan ..membuatku terluka tanpa cinta.. Reinhard ... Erlangga Reinhard sengaja mencari...