Angga membuka matanya. Ponselnya masih bergetar. Kedai Ramen. Angga menekan tombol hijau, mendengarkan suara Tiara, anak abah, bertanya keberadaanya. Tiara berkata bahwa kedai sangat ramai dan membutuhkan Erlangga untuk segera datang. Erlangga dengan suara lemah mengiyakan untuk segera datang.
Angga menarik napas dalam-dalam. Ia tadi berharap agar dirinya mati. Namun, ternyata ia masih hidup. Mungkin belum saatnya ia untuk pergi dari dunia ini. Mungkin masih ada yang harus ia lakukan di dunia ini.
Selama ia masih diberi napas kehidupan, berarti ia masih ada gunanya di dunia ini. Entah untuk siapa, entah untuk apa.
Angga berusaha berdiri. Ia berjalan menuju minimarket di dalam stasiun. Membeli roti, air mineral dan obat pereda rasa sakit.
Sesampainya Angga di kedai ramen, abah pemilik kedai ramen terkejut melihatnya.
"Kau sakit? Kenapa tak bilang saja tadi? Kau ini."
"Nggak apa-apa, bah. Saya masih bisa."
"Sudah kau pulang saja. Besok kalau masih sakit, sms saja. Tidak usah masuk."
"Nggak apa-apa, bah. Saya benar-benar masih bisa. Saya ijin makan ramen semangkok sebentar sebelum kerja bah."
"Makanlah! Dua mangkok saja,lah, kau makan. Hei Budii! Kau kasihlah dua mangkok ramen pada temanmu ini!"
Angga tersenyum. Mungkin benar bahwa masih ada yang bisa ia lakukan di dunia ini. Masih ada orang yang harus ia tolong.
"Barangmu banyak kali. Kau kabur dari rumah?" Abah bertanya saat kedai ramen sudah tutup.
Angga diam. Ia bingung harus menjawab apa.
"Ayah kau siksa kau lagi?"
"Nggak, bah. Sa.. saya habis nginap di rumah teman. Saya cuci piring dulu, bah."
"Pulang sajalah kau! Kau lagi sakit."
"Lu pulang aja, Ga! Biar gue yang beresin." Budi mengambil inisiatif.
Angga tersenyum. Ia mengucapkan terima kasih lalu pamit.
Melangkah keluar kedai, Angga berjalan menyusuri jalan. Kepalanya masih pusing, seluruh tubuhnya terasa sakit. Ia butuh istirahat.
Ia mencoba mencari rumah yang menyewakan kamar. Bertanya pada beberapa orang.
Angga akhirnya menemukan sebuah kamar yang bisa disewa. Rumahnya dari kayu dan tripleks. Di dalam sebuah gang kecil di pinggir kali, tidak terlalu jauh dari rumahnya.
Angga merebahkan diri. Tidak lama ia pun tertidur. Malam itu, Angga tertidur nyenyak.
Satu hal yang Angga belum tahu. Salah satu penyewa kamar di rumah itu adalah teman ayah tirinya, yang pernah beberapa kali ada di gudang tua itu, melakukan perbuatan keji dan tidak berkeperimanusiaan padanya.
***
Devan sengaja menabrakan diri pada Erlangga. Kertas-kertas dan buku-buku yang dipegangnya jatuh berserakan.
"Masih punya muka buat ketemu gue?" Tanya Devan sinis. "Cuma mau ingetin aja, ancaman gue nggak main-main. Kalau lu masih berani gangguin bokap gue, gue bakalan bikin lu lebih tersiksa sampai akhirnya lu bener-bener hancur." Bisik Devan sebelum berlalu.
Erlangga hanya diam, ia lalu berlutut mengumpulkan kertas dan buku-bukunya yang berhamburan.
Reinhard buru-buru membantu Erlangga, sambil terus memperhatikan pemuda itu.
Reinhard menyerahkan kertas dan buku-buku yang dikumpulkannya pada Angga. Angga menerimanya, dengan kepala tertunduk.
"T... thanks." Ucap Angga dengan suara sangat pelan.

KAMU SEDANG MEMBACA
First Love
RandomDia orang pertama yang.. ..membuatku tersenyum dengan cinta.. ..membuatku merasakan indahnya cinta.. ..membuatku mengerti arti cinta.. ..membuatku jatuh cinta.. dan ..membuatku terluka tanpa cinta.. Reinhard ... Erlangga Reinhard sengaja mencari...