Chapter 14

122 17 1
                                    

Tiga hari sudah semenjak malam itu, Tania maupun Eza sama-sama menghindar. Belum ada percakapan dan pertemuan antar keduanya. Bila harus berpapasan di koridor pun Tania lebih memilih untuk memutar arah yang lebih panjang demi menghindari Eza. Sementara Eza, akan berhenti sekedar menyapa teman-temannya demi memperulur waktu supaya tidak bertemu Tania

Begitupun sewaktu berkumpul di aula, mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Padahal di benak keduanya, ada berbagai benang kusut yang perlu diselesaikan.

Tiga puluh menit yang lalu, Tania sampai di rumahnya setelah gladiresik Pensi di sekolahnya. Ia kini merebahkan dirinya setelah mandi dan makan malam. Rio baru saja menelfonnya, memberitahu Tania bahwa malam ini ia akan menginap di rumah teman yang dekat dengan Kampusnya karena harus mengerjakan tugas kelompok bersama. Tania hanya menghela nafas, ia sudah biasa hanya berdua di rumah bersama Bi Inem.

Handphone nya kembali berdering, kali ini dari nomor yang tak dikenal. Awalnya Tania enggan untuk menjawab panggilan itu, tapi panggilan itu terus memanggil beberapa kali. Tania penasaran, ia mengangkatnya.

"Halo?"

"Tan."

"Tania hafal betul suara ini, suara yang sudah lama tak ia dengar lagi.

"Eza? ada apa?"

"Bisa ketemu sekarang?"

Tania melihat jam dinding. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam.

"Besok aja deh."

"Penting."

Tania mengalah, "Dimana?"

"Tempat waktu itu."

Tania menyetujuinya dan memutuskan sambungan. Lalu, ia meraih sweater nya sebagai pelindung dari dinginnya malam.

•••

Setelah bersusah payah untuk keluar rumah dengan Bi Inem dan berjanji akan pulang sebelum angka dua belas, Tania menaiki taksi yang mengantarnya ke tempat kemarin yang ia dan Eza datangi. Tania berjalan dan mencari tempat yang kemarin mereka tempati. Di depan air mancur yang jauh dari keramaian.

Dari kejauhan ia melihat Eza, sedang duduk memeluk kedua kakinya dan menatap lurus ke depan. Tania mempercepat langkahnya.

"Tiga hari saling ngehindar, tiba-tiba ngajak ketemuan. Ada apa sih?" Tania langsung duduk di sebelah Eza.

"Saya lagi sedih," jawabnya tanpa menoleh sedikit pun, pandangannya tetap kosong dan lurus ke depan. Tania mengangkat kedua alisnya, lalu diam supaya Eza melanjutkan perkataannya.

"Saya fikir setelah saya dateng ke sini kesedihan itu bakal hilang," Eza menghela nafas lalu menundukkan kepala. Dari sini, Tania bisa melihat bahwa Eza memang benar sedang bersedih. "Tapi saya salah." potongnya lagi. Eza mengangkat kepalanya dan menatap Tania sangat dalam. Tatapan yang ia berikan seperti tempo lalu.

"Ternyata hati saya minta ketemu kamu buat ngilangin kesedihan saya."

Terlalu cepat. Kata-kata tadi terlalu cepat untuk Tania dengar. Ingin rasanya Tania meminta Eza untuk mengatakannya sekali lagi, tapi ia urungkan. Tania hanya mampu membalas tatapan itu sama dalamnya. Menyelami pikiran Eza, dan berusaha untuk mengetahui apa yang membuatnya sedih.

Sedetik kemudian Tania tersenyum. Malam ini ia sudah menemukan jawabannya. Jawaban dari semua benang-benang pertanyaan yang menghantui. Jawaban yang membuatnya terlalu terbawa perasaan. Jawaban yang membuatnya bertanya pada diri sendiri; siapa yang ada dihatinya?

Thanks? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang