Chapter 1

676 62 3
                                    

     "Tan." Suara panggilan seseorang membuat Tania harus memberhentikan pandangannya untuk sekedar menatap langit yang menurutnya sama sekali sepi, sepi tanpa bintang-bintang yang menghiasi. Hanya ada rintik-rintik sisa hujan yang membuat Tania masih berdiri memandang langit dari sini.

     Siapa lagi kalo bukan Kakaknya yang menganggunya — Rio. Keluarga terdekat satu-satunya yang sekarang ia miliki. Tania menoleh ke asal suara itu, "Iya kak?"

     "Kamu udah siap buat sekolah besok?"
Tania hanya menghela nafas mendengar ucapan Kakaknya. Selalu itu yang dipertanyakan. Sekolah. Rasanya Tania sudah malas membahas hal itu. Membahas salah satu kewajibannya. "Kok malah melamun sih? jawab Tan."

     Tania menatap Kakaknya sambil berjalan menuju Rio yang duduk di pinggir ranjang kasurnya, meninggalkan jendela dengan kondisi hordeng terbuka. "Harus besok ya ka?"

     Kak Rio mengangguk, "Kakak udah daftarin kamu di SMA yang deket dari rumah." Jelas Kak Rio semangat.

     "Aku sih gamasalah kaa mau di sekolah manapun, tapi kalo besok, aku belum siap."

     Mendengar Tania bicara seperti itu, Rio langsung menyentuh kedua pundak Tania, mencoba untuk mengaliri kasih sayang dari dalam dirinya. Untuk adiknya yang sangat dicintai.

     Ia menatapnya lekat. "Sampai kapan kamu mau gini terus, Tan? udah dua tahun kamu ga sekolah, homeschooling ga menjamin masa depan kamu."

     Rio terdiam sebelum melanjutkan perkataannya, "Kak Rio tau kamu masih terpuruk, tapi kamu harus bangkit! Jangan malah ngorbanin masa depan kamu, Tan."

     Tania hanya tertunduk diam, mencoba mencerna kata-kata Kakaknya barusan.
Sekolah? besok? siap? pikiran-pikiran itu senantiasa berputar mengelilingi kepala Tania. Seperti ada seseorang yang membisikinya.

     Beberapa menit terdiam Tania mulai berbicara, "Iya kak, mulai besok aku siap sekolah lagi." kata itu terlontar dari mulut Tania dengan yakin, ia sudah memikirkan segala resiko dari keputusan yang ia ambil untuk mulai sekolah. Meskipun ia tau lebih banyak manfaatnya daripada resikonya.

     Terukir senyum dibibir Rio, "Gitu dong Tan, kejar cita-cita kamu jadi dokter!" ujarnya sambil mencubit kedua pipi adiknya. Tania yang menjadi korban hanya diam sambil mengelus pipinya pelan.

     "Tapi besok sebelum sekolah, kita ke makam ya, Kak." rengeknya pada Rio yang masih tersenyum senang.

     "Siap Bos!!" Rio mengangkat tangan hormat, tanda setuju dengan adiknya. Setelah itu, hanya tawa yang mengisi ruangan kecil itu. Kesenangan yang bisa ia dapat sekarang hanya dengan seorang Kakaknya.

     "Oiya bentar."  kata Tania tersadar, ia bergegas menuju hordeng nya yang masih terbuka lebar. Ia lalu terdiam sambil menatap langit yang ada di luar jendela, memperhatikan bintang-bintang dan bulan yang sudah mulai terlihat setelah hujan yang mengguyur bumi cukup deras. Pikirannya teringat ucapan Kakaknya semenjak dua tahun yang lalu; kalau kamu kangen sama Ayah dan Bunda, cukup liat bintang dilangit. Dua bintang yang bersinar paling terang, pasti itu Ayah sama Bunda. Kata-kata yang menurutnya konyol itu, ternyata mampu untuk menghilangkan sedikit rasa rindu Tania ke orang tuanya.

     Melihat ada dua bintang yang paling bersinar, ia yakin pasti itu Ayah dan Bundanya. Lewat doa, ia mulai berbicara dengan orang tuanya yang sudah tenang disisi-Nya.

Thanks? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang