Worst Fear: Losing a Loved One (Justin Finn)

11 1 0
                                    


"Ayolah. Bertahanlah, kawan. Bantuan segera datang. Buka matamu." aku terus bergumam tanpa henti sambil terus melakukan CPR. Orang ini tak bernapas sama sekali. Kupasangkan alat bantu napas ke wajahnya. Keringat mengalir di keningku akibat panas yang terpancar dari mobil yang baru saja terbakar. Mobil milik orang ini yang, jika saja dia tidak keluar lebih cepat, bisa menjadi peti matinya. Beberapa orang mengerumuni mobil yang terbakar itu, beberapa memotret, yang lain berteriak panik, tapi tak ada yang cukup waras untuk turun tangan dan membantu memadamkan api.

Tak ada respon. Napasnya terhenti. Denyut nadinya tak terasa. Rasanya semua usahaku untuk membawanya kembali dari maut tak juga berhasil. Tapi aku tidak ingin menyerah secepat itu.

Dia adalah anak seseorang. Mungkin suami seseorang. Orang ini pasti sangat berarti bagi banyak orang. Nyawanya bukanlah tidak bernilai. Karena alasan inilah, aku wajib menyelamatkannya.

"Hei. Sudah cukup." salah satu rekanku menepuk bahuku pelan, seolah ingin menyadarkanku dari sesuatu. Aku tidak memedulikannya dan tetap melakukan apa yang kulakukan. "Finn. Finn! Ayolah, dia sudah tiada. Sia-sia saja."

Aku menatap mata korban; tindakan yang sejak tadi kuhindari. Wajahnya separuh hancur akibat tabrakan dan api, di beberapa bagian masih tersisa pecahan kaca. Di matanya tidak terlihat cahaya kehidupan lagi, manik mata kebiruan yang pasti semula mencerminkan semangat sekarang manatap tak fokus ke langit kemerahan. Tubuhnya tak lagi terasa hangat.

"Sir. Ayolah. Tetaplah hidup." usahaku makin terlihat putus asa, tapi Sam menangkap tanganku dan menariknya dengan paksa menjauh dari korban.

"Finn." Sam membuatku menghadapnya. Raut wajahnya datar, sedikit ternodai oleh abu dan darah yang hampir mengering. "Tidak ada gunanya."

"Tch." Aku meninju udara karena frustasi. Kusisir rambut berantakanku ke belakang dengan jari dengan cepat sambil merutuk. "Aku tahu."

"Dia terjebak di mobil itu cukup lama. Kemungkinannya kecil kalau dia bisa selamat." Sam menepuk bahuku lagi.

"Harusnya aku bisa menyelamatkannya." gumamku pada diri sendiri.

"Kita tak bisa menyelamatkan semua orang, kau tahu?"

"Harusnya bisa!" geramku. "Tidak ada nyawa yang tidak berharga."

Sam menghela napas. "Dengar. Tempat ini terpencil. Lagipula butuh 30 menit bagi seseorang dengan akal sehat untuk menelepon ambulan."

"Kalau begitu seharusnya aku datang lebih cepat." gumamku lagi. Sam menghela napas lagi, sepertinya menyerah akan tingkahku yang keras kepala.  Aku berbalik untuk melihat korban sekali lagi. "Siapa namanya?"

Sam harus melihat catatan kusam yang ada di tangannya sebelum menjawab. "

Nicolai Penn. 34. Istrinya, Nicole Penn, sudah dikontak, dia akan datang beberapa menit lagi."

Aku merutuk lagi. "Dia pantas menamparku seratus kali."

"Kau tahu itu tidak benar."

"Dia pasti butuh pelampiasan, bukan?" aku menghadap Sam lagi. "Biarkan aku yang menyampaikan beritanya."

Sam terlihat menimbang-nimbang. "Baiklah," akhirnya dia menjawab, "tapi segera setelah itu kau pulanglah. Ini hari yang panjang."

Aku mengangguk, tapi tidak menghiraukan perintah yang terakhir, berbalik untuk pergi, tapi Sam menghentikanku lagi, pertanyaannya sungguh tidak kuperkirakan hingga gerakanku terhenti karena kaget. "Apa sih yang membuatmu begini?"

"Maksudmu?" tanyaku balik, pura-pura bodoh, tapi suaraku sama sekali tak meyakinkan. Aku tahu pasti maksudnya apa. Aku hanya tak ingin membahasnya sekarang, di sebelah orang mati.

"Ini. Lagak heroik, kadang putus asa ini. Kau tahu ini bukan komik picisan tentang pahlawan super, kan?"

"Tentu saja. Aku tak bisa terbang." Jawabku sambil tertawa getir.

"Aku serius." Kedua alis Sam menyatu. "Apa yang membuatmu merasa kau harus menyelamatkan semua orang?"

Pertanyaan mengejutkan kedua hari ini. Aku mencoba untuk tertawa, tapi tenggorokanku serasa tercekat. Jadi kupaksakan diriku untuk tersenyum pahit.

"... Karena sebelumnya tak ada yang menyelamatkan ibuku."

...

..

.

Hey, look at that. An update.

Psycho ThoughtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang