Kisah Malaikat Kematian

16 3 0
                                    

Finally, an update! Sorry it took me too long.

A reminder, this was published once before (in a blog that no longer exists), so please let no one complaining about me stealing someone else idea because this one is mine. Oh, and this one is a bit long, so bare with me.

Well, enjoy!

...

..

.

Banyak orang berlari. Saling menabrak, menyikut, tersungkur, terinjak. Jeritan terdengar seolah membelah udara yang dipenuhi asap yang mencekik orang-orang sedikit demi sedikit. Tangan menggapai-gapai, putus asa mencari jalan keluar. Berusaha menyelamatkan diri sendiri dan harta masing-masing.

"Menyedihkan," gumamku.

Percikan-percikan api mendekat, menguapkan energi mereka. Memompa keluar kehidupan mereka. Harapan mereka.

Api mulai menjalar, membakar pakaian indah yang membalut tubuh-tubuh gemuk mereka, dan dekorasi-dekorasi mewah di sekelilingnya. Rasa takut mati terbakar menyelimuti mereka; ketakutan yang jauh lebih besar daripada kematian itu sendiri. Panasnya api mengingatkan mereka pada dosa-dosa mereka. Mereka menghindari api neraka.

Aku melirik jam yang melekat tak bergeming di dinding, seolah tidak terganggu oleh bencana yang disaksikannya. Aku harus bersabar. Aku menatap tanpa ekspresi, menunggu hingga waktunya bagiku untuk mengerjakan tugasku.

Orang-orang kurang beruntung meraung-raung; tak bergerak karena terinjak-injak oleh kerumunan yang panik, tertimpa puing-puing bangunan yang semula mereka kagumi, meratapi nasib mereka yang berbalik sebegitu drastisnya semudah membalikkan telapak tangan.

Beberapa orang cukup beruntung; jiwa-jiwa mereka kuantar terlebih dahulu tanpa tahu apa-apa. Aku melihat sekilas kerumunan jiwa-jiwa putus asa yang berlarian tak tentu arah. Beberapa berteriak histeris, sebagian mendokumentasikan kejadian, dan sisanya memakai seluruh tenaganya untuk berusaha tetap tenang. Aku membuang muka dengan jijik.

"Jiwa-jiwa kotor," gumamku. "Aku harus menanti dengan sabar."

Tanpa kuduga, segera setelah aku berkata demikian, seorang wanita berteriak histeris dengan segenap udara yang tersisa dalam paru-parunya, "Tidak! Kita akan mati! Kita akan mati! Habislah semua!"

Dengan segera aku menyadari apa yang terjadi. "Kau melihatku," gumamku. Tak banyak yang bisa melihatku. Dia istimewa. Tak kusangka aku akan bertemu dengan orang sepertinya di sini; walaupun itu tidak menggangguku.

"Aku masih ingin hidup! Biarkan aku hidup!" isaknya. Dia menangis tersedu-sedu. Bahunya bergetar hebat. Aku menatap wanita itu, masih tanpa ekspresi.

Walaupun begitu, keingintahuanku terusik. Aku mengeluarkan perkamenku. Nama wanita itu tertera di dalamnya, sama seperti beribu-ribu orang lainnya. Aku mengalihkan mataku ke arahnya. Hatiku yang sekeras batu ternyata masih bisa tergerak. Jane Finn adalah namanya. Catatan kehidupannya tertera lengkap dalam perkamenku, namun aku tak perlu repot-repot membacanya karena wanita itu telah meracau tentangnya.

"Umurku masih 30 tahun dan masih banyak yang ingin kulakukan! Aku ingin melihat anakku tumbuh besar-Justin kecilku! Oh Justin! Apakah nasibmu tanpaku?!" Dia terisak. "Ayahku menderita tumor dan biaya pengobatannya mahal... Sejak itu aku mengorbankan semuanya! Benar-benar semuanya! Suamiku meninggalkanku! Villa warisan nenekku, aset-aset berharga keluarga... Semuanya! Aku masih berhutang budi pada teman-teman yang menolongku di saat terpurukku! Aku... hanya aku yang bisa mereka andalkan! Perusahaan sedang dalam masa-masa sulit... Mereka bergantung padaku, Direktur mereka! Kasihan mereka!"

Psycho ThoughtsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang