“Luke, OMG, Luke! Kau nggak bakalan percaya jika aku menceritakan ini semua kepadamu!” gadis berambut coklat berombak itu menghambur ke arah Luke begitu cowok itu keluar dari ruang kelas Sains. Bel tanda istirahat baru saja berdering.
Luke, cowok berambut pirang dengan postur bak tiang listrik itu, menaikkan alisnya melihat Allison – ya, itu nama gadis berambut coklat itu – yang tampak over-excited. Bukannya Allison baru saja keluar dari kelas matematika – yang merupakan kelas yang paling ia benci? Tapi kenapa ia tampak sangat gembira dan kelebihan energi begitu?
Apa jangan-jangan tadi pagi ada seseorang yang meneteskan obat penambah energi dalam dosis besar ke susu vanilla Allison saat ia sarapan? Gadis itu tampak seperti anak umur lima tahun yang bersemangat akan pergi ke Taman Hiburan.
Pipinya yang dihiasi bintik matahari tampak memerah, mata biru kehijauanya yang besar berbinar-binar, dan rambut coklatnya tampak sedikit berantakan, beberapa helainya menempel pada lehernya yang lengket karena berkeringat. Siang ini sekolah memang terasa seperti oven.
“Ada apa memangnya? Kau tampak gembira sekali, seperti akan meledak,” kata Luke setelah ia mengamati Allison selama beberapa menit, tanpa menurunkan alisnya atau menghilangkan kerutan dalam di dahinya.
Allison menarik tangan Luke supaya ia mendekat. “Kau nggak akan percaya apa yang kudapatkan tadi pagi,” Allison merogoh isi tasnya, kemudian mengeluarkan selembar amplop berwarna peach dari sana. “Aku menemukannya di lokerku. Coba kau buka amplop itu! Ada surat paling manis di dunia di dalamnya! Baca, deh!”
Luke menerima amplop yang disodorkan Allison itu, dan menimang-nimangnya sesaat. Lalu ia membuka amplop itu dan mengeluarkans secarik kertas penuh tulisan hasil ketikan mesin ketik. Luke menyipitkan matanya, dan membaca deretan kata itu dengan cepat.
Dear, Allison.
Kau mungkin tidak pernah memperhatikanku, tapi kau harus tahu kalau aku selalu memperhatikanmu. Dan menurutku, kau punya sepasang mata terindah yang pernah kulihat, juga seulas senyum paling manis yang pernah ada di dunia. Kau gadis yang sangat cantik, dan kau juga punya hati yang baik. Aku suka caramu berbicara, dan tawamu terdengar seperti musik di telingaku.
Kau cantik, di luar maupun di dalam. Dan kau harus menyadarinya.
Salam manis,
Pengagummu.
“Bagaimana? Manis sekali kan, surat itu?” tanya Allison bersemangat setelah Luke mendongak dari kertas surat itu, dan memasang tampang aneh – campuran antara ngeri dan jijik, entahlah apa namanya.
“Manis? Lebih kayak menjijikkan,” sahut Luke seraya menyodorkan kembali kertas itu beserta amplopnya kepada Allison.
“Iiihh! Kau memang menyebalkan! Cowok paling nggak peka sedunia!” Allison berjinjit dan menjerit tepat di telinga kiri Luke.
“Astaga, Allison! Apa kau mau aku jadi tuli?!” Luke berseru gusar. “Kalau aku tuli, siapa lagi yang mau mendengarkan segala ocehan-tiada-hentimu itu?!”
***
“Luke, menurutmu siapa sih, yang mengirimiku surat-surat itu? Kau punya pendapat, nggak?” sepasang sahabat itu sudah berada di kantin selama sepuluh menit, dan Allison masih saja membicarakan perihal surat misterius itu.
“Mana kutahu,” Luke hanya mengedikkan bahu dan lanjut menyeruput milkshake coklatnya lewat sedotan. “Memangnya menurutmu siapa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Anything Could Happen ✖️ hemmings [a.u.]
FanfictionLuke Hemmings tahu bahwa kasus 'jatuh-cinta-terhadap-sahabatmu-sendiri' adalah hal yang teramat klise. Ia sudah bosan mendengar berbagai kisah tentang kasus itu, sebosan ia menunggui Ashton Irwin, Calum Hood, dan Michael Clifford bermain game. Sebos...