20. Their Own Teenage Dream [2]

5.8K 470 54
                                    

“I want to kiss her.

Not because I want to feel the softness of her fair lips or the warmth of her breath as she exhales against me.

I want to kiss her because I can’t think of any other way to fully express the beauty that she is. I want her to know that I see her as perfect. That she is perfect.

***

            Mereka berdua masih berbaring di atas atap mobil itu.

            Sementara Allison menatap langit yang ada di atasnya, Luke menoleh dan memandangnya dari samping, memikirkan berbagai hal yang telah ia lakukan, untuk sampai pada detik ini.

            Memikirkan berbagai perjuangan yang telah ia lalui, untuk akhirnya bisa merasakan semua ini – berbaring dalam diam, di samping Allison, hanya berdua, dan mengetahui bahwa gadis itu juga mencintainya. Mengetahui bahwa gadis itu masih berusaha mencintainya, dengan hatinya yang sudah penuh luka. Mengetahui bahwa di tengah kesulitannya untuk mencintai dirinya sendiri, gadis itu mencoba untuk mencintai orang lain.

            Sadar bahwa ada yang memandangnya, Allison menoleh ke arah Luke, hingga wajah mereka berhadapan. “Hei, kenapa kau menatapku dan tersenyum seperti itu?” Allison malah bertanya dengan heran, melihat tatapan Luke kepadanya yang tak terdefinisikan, lalu ia bangkit dan terduduk.

            Luke menghela napas, lalu ikut mengubah posisi menjadi duduk. Ia menatap Allison sesaat, masih sambil tersenyum. “Because finally I have my whole world, all for myself.”

            Mendengar itu, Allison merasakan aliran darah langsung naik ke pipinya, dan ia benar-benar tak bisa mencegahnya. Ia berusaha menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, malu jika harus menampakkan wajahnya yang merah padam. “Apaan sih, Luke? Itu cheesy banget, tahu!” ia mendengus keras dan mendelik ke arah Luke.

            Luke terbahak melihat wajah Allison – kepiting rebus saus tomat pun masih kalah merahnya. “Hei, tapi kau suka mendengarnya, kan? Mengaku saja, deh,” godanya sambil menatap mata Allison, membuat gadis itu makin salah tingkah.

            Allison balas menatap Luke, tatapannya tajam, dan bertahan cukup lama. Daripada tatapan mesra, tatapan itu lebih mirip tatapan mematikan. “Dengar, Lucas,” katanya kemudian, seraya menurunkan tangan dari wajahnya. “Aku punya puisi untukmu, dan ini begitu romantis. Aku yakin para pujangga dari abad delapan puluhan dengan tampang mirip Monalisa dan rambut bergulung-gulung itu kalah puitis denganku.”

            “Coba aku dengar puisimu,” kata Luke sambil tersenyum.

            Allison berdeham sejenak, kemudian menyisir sedikit rambutnya ke belakang, membubuhkan efek dramatis. “Roses are red, violets are blue,” ia mengawalinya.

            “Loh, violet kok, jadi biru? Violet ya, violet! Violet itu kan, ungu! Bagaimana sih, kau ini?” tahu-tahu Luke sudah memprotes.

            “Hemmings, tolong tidak usah banyak protes. Nanti kalau violetnya tetap menjadi violet, rimanya tidak cocok,” sahut Allison dengan tampang sewot. “Jadi, mau mendengar selengkapnya, tidak?”

            “Oke, oke,” Luke hanya mengangguk-angguk, menurut saja pada Allison.

            “Roses are red, violets are blue,” kemudian Allison berdeham dan memberi jeda beberapa detik, sebelum ia kembali membuka mulutnya, “Luke you little shit, and I hate you.”

Anything Could Happen ✖️ hemmings [a.u.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang