22. A Mix of Insanity and Stupidity

6.4K 451 50
  • Didedikasikan kepada Semua orang yang udah baca ini!=))
                                    

A/N: THE 22ND PART, GUYS! Aku tidak PHP kaaan? Hahaha :) Tadi udah kukasih tau kan, kalo ini bakal jadi part super-panjang... Tapi pada minta dipost sih, jadi konsekuensinya, jangan bosen bacanya ya! Anyway, part ini panjang banget buat nyeimbangin sama epilog yang bakal pendek banget, cuma seuprit *bocoran nih(?)* Oya, di part ini ada konten eksplisit lho HAHAHA nggak deng, bukan eksplisit kayak di smut fanfic kok-_- Baca aja dehh!
Btw, ada banyak lagu di part ini, dan semuanya nggak bisa ditaruh di multimedia. Yang bakal dikasih di multimedia itu lagu waktu adegan dance gila gitu deh, mohon disetel waktu baca bagian itu, biar feelsnya kerasa, hahahaa :)
So, sekian dan terima kasih! Selamat membaca! Janji lho, nggak tidur/ngantuk/bosen pas baca this damn-long chapter._. Leave votes and also comments on the box below, yaa! Makasih! xx

------------------

          Allison menyeringai. “It’s from my sunshine.”

            Untuk sesaat, sebuah senyuman mengembang di wajah Luke, alias cowok pirang itu. Ia membuka mulutnya perlahan, berusaha mengumpulkan kata-kata, tapi ia gagal. Speechless, mungkin? Ia bisa merasakan jantungnya berdegup superkencang seperti derap langkah kuda. She called him sunshine – her sunshine.

            Matahari. Matahari yang menerangi, yang menghangatkan, yang membuat semuanya jadi lebih indah. Dan bukankah akan menjadi kebahagiaan tersendiri, jika kau bisa menjadi matahari bagi seseorang?

            Luke telah mendapatkan kata-kata untuk diucapkan, ketika tiba-tiba terdengar suara hembusan angin berpadu dengan hentak kaki menerobos keramaian koridor. Luke dan Allison spontan menoleh ke sumber suara, mendapati dua sosok manusia – yang lebih kelihatan seperti campuran antara siluman cheetah dan Usain Bolt kesetanan – menghentikan larinya di depan mereka. Berhentinya mendadak, sampai-sampai tubuh mereka terdorong ke belakang, bak hukum kelembaman.

            Eh, memangnya hukum kelembaman itu yang mana, ya? Hukum Newton ketiga, bukan, sih? Ah, entahlah. Memangnya, siapa yang peduli dengan Fisika serta tetek bengeknya? Lupakan saja.

            Dua bocah itu menatap Luke dan Allison dengan mata membesar penuh binar ala puppy eyes yang menggemaskan. Walau sebenarnya tampak menggemaskan, Luke malah merasakan dorongan untuk menusuk mata mereka dengan segagang garpu. Salah satu dari mereka, yang berambut pirang pucat – namun ingin segera mengecatnya menjadi warna gelap – langsung bersuara.

            “Jadi, apakah kalian sudah –“

            “MEREKA PASTI SUDAH JADIAN!” bocah satunya, dengan rambut ikal berantakan dan lesung pipi merekah, langsung menjerit, bahkan sebelum Si Pirang Pucat selesai bertanya.

            “Hei, mereka bahkan belum –“

            “MICHAEL, TOLONG, JANGAN JADI TERLALU BODOH!” bocah dengan senyuman lebar bak setan kegirangan itu lagi-lagi memotong ucapan Si Pirang Pucat, alias Michael. “Mereka pasti sudah jadian! Itu sudah tercatat pada hukum alam!”

            “Hukum alam ap –“

            “MICHAEL, TOLONG PUTAR LAGU KEMENANGAN KITA!”

            Luke dan Allison saling melirik dengan ngeri. Ini koridor sekolah. Ramai. Penuh orang. Dan dua bocah itu datang membawa kegaduhan. Allison benar-benar ingin pingsan ketika Michael mengeluarkan ponsel dari saku celananya, menyalakannya, dan sedetik kemudian suara gesekan biola mengalun dari sana.

            Lalu ada hentakan lain, dan Luke benar-benar ingin menelan sabun colek ketika melihat Ashton – bocah ikal superheboh itu – dan Michael mulai menari dengan riangnya mengikuti irama yang terdengar seperti musik delapan puluhan. Allison ingat, ia pernah mendengar lagu ini di film adaptasi novel Stephen Chbosky – The Perks of Being a Wallflower – dalam adegan di pesta dansa, ketika Sam dan Patrick menyerukan ‘living room routine!’.

Anything Could Happen ✖️ hemmings [a.u.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang