“Jadi, kalian masing-masing mendapat dua puluh poin merah karena bertengkar dan membuat kericuhan di lingkungan sekolah,” Madam Sanchez berujar dengan nada keji, lalu ia membuka sebuah buku tebal berisi daftar nama siswa, dan menuliskan tambahan poin merah Luke, Allison, dan Harry dengan pena bulu yang ujungnya bergoyang-goyang.
Luke menggigit bibir bawahnya, lalu menghela napas keras. Dua puluh? Itu jelas angka yang besar untuk poin merah.
“Hei, kenapa aku juga mendapat poin merah?!” tiba-tiba Allison memprotes. “Aku tidak ikut berkelahi! Aku justru berusaha untuk melerai mereka!” Gadis itu sedang bete berat, berhubung rambutnya yang baru saja dibersihkan kini lepek dan bau apak. Lalu ia juga mendapat poin merah? Duh, kayak deritanya belum cukup saja.
Madam Sanchez memandang Allison dan menurunkan kacamatanya. “Maaf, tapi saya tidak menerima alasan-alasan atau tapi-tapian lagi. Dua puluh poin, tak bisa diganggu gugat. Oya, dan kalian juga mendapat hukuman lain.”
Oke, jangan bilang kalau kami akan diskors... Luke berharap dalam hati.
“Kalian harus membersihkan gudang bawah tanah sekolah! Setelah selesai, kembalilah ke sini dan laporkan hasil pekerjaan kalian,” lanjut Madam Sanchez, masih dengan nada sedatar jalan aspal dan tatapan keji yang memuakkan.
Harry menghentakkan sepatunya ke lantai, dan mendesah keras. Madam Sanchez menyuruh mereka untuk keluar dan melaksanakan hukumannya, lalu Harry, Luke, dan Allison berjalan keluar dari ruang Bimbingan Konseling itu dengan ogah-ogahan.
Begitu mereka keluar, Harry langsung melenggang begitu saja – yang jelas arahnya bukan menuju tangga ke lantai bawah tanah – setelah sebelumnya melirik Luke dan memamerkan jari tengahnya. Ia jelas melalaikan kewajibannya menjalani hukuman.
“Hei, apa kau juga mau mengikuti jejak Harry? Kabur dari hukuman itu?” tanya Luke, seraya memegang pipi dan dagunya yang memerah dan penuh luka lecet. Api amarahnya belum padam, tapi ia sudah terlalu lelah untuk melanjutkan perkelahian.
“Oh, aku tidak mau mendapat lebih banyak poin merah. Lebih baik kita melaksanakan hukuman itu,” Allison menyahut. “Tapi, sebelumnya, kurasa sebaiknya kita mampir ke UKS dulu. Kita harus mengobati luka-lukamu itu.”
“Baiklah,” Luke menurut saja ketika Allison menyeretnya menuju UKS. Mereka berdua memasuki ruangan di dekat tangga itu, dan aroma obat-obatan yang menguar serasa menusuk hidung mereka.
“Hai, ada yang bisa saya bantu?” Miss Janette, suster UKS itu, bertanya dengan manis.
“Bolehkah aku minta beberapa... umm, plester, obat merah, dan kapas?” Allison bertanya. Miss Janette pun mengangguk dan mengeluarkan benda-benda yang diminta Allison dari lemari kaca geser berisi obat-obatan di dekatnya.
Allison meneteskan sedikit obat merah ke kapas, lalu berjinjit di jari-jari kakinya. Luke memang sangat tinggi, dan ia tahu ia akan kesulitan mengusapkan kapas itu ke wajah cowok itu.
“Oke, Luke, bisakah kau membungkuk?” Allison akhirnya bertanya, dan berhenti berjinjit. “Kau tahu, berjinjit itu melelahkan.”
“Kau pun juga tahu, membungkuk itu melelahkan,” Luke menyahut dan tersenyum nakal. Allison mendengus keras dan memutar mata.
“Please deh, Luke! Bersyukurlah aku mau berbaik hati mengobatimu!” Allison berkata, lalu mendengus lagi.
Luke tertawa kecil, lalu akhirnya ia mengalah dan membungkuk supaya Allison bisa mengobati luka-luka lecet di wajahnya. Sedari dulu, Luke memang suka membiarkan Allison menang mengalahkannya, baik saat bermain game maupun saat mereka beradu pendapat. Luke suka melihat senyum manis Allison saat gadis itu menang, jadi Luke lebih suka mengalah, supaya bisa melihat senyum itu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anything Could Happen ✖️ hemmings [a.u.]
FanfictionLuke Hemmings tahu bahwa kasus 'jatuh-cinta-terhadap-sahabatmu-sendiri' adalah hal yang teramat klise. Ia sudah bosan mendengar berbagai kisah tentang kasus itu, sebosan ia menunggui Ashton Irwin, Calum Hood, dan Michael Clifford bermain game. Sebos...