Komidi putar, bianglala, gondola, dan beberapa wahana ‘santai’ lainnya telah dinaiki oleh Luke dan Allison. Kini mereka ingin beralih ke yang lebih ekstrem.
Mereka sedang mengantre untuk naik roller coaster. Luke bisa melihat betapa bersemangatnya Allison untuk menaiki wahana itu, tapi ia pun masih terus memikirkan kapan waktu yang tepat untuk menembak gadis itu. Ya ampun, sepertinya dari pagi hanya hal itu yang terus berputar-putar mengusik pikirannya.
“Wow, kurasa aku sedikit gemetar,” Allison berkata sambil tertawa kecil, ketika akhirnya mereka mendapat giliran untuk naik ke roller coaster. Ia melompat ke tempat duduk nomor tiga dari depan, lalu Luke pun menempati tempat di sampingnya. Mereka berdua lantas memasang sabuk pengaman, lalu berdoa, sebelum terdengar aba-aba dan roller coaster itu perlahan bergerak.
“Luke, aku gugup,” dan memang jelas ada kegugupan dalam suara Allison. Lalu dalam hitungan detik, roller coaster yang tadinya bergerak lambat, tiba-tiba melesat dengan begitu cepat, melewati tanjakan, menukik tajam, menghujam angin, menggemakan jeritan para penumpang.
Hingga tiba-tiba, terdengar suara derakan yang cukup keras, dan roller coaster itu berhenti begitu saja, tepat ketika Luke dan Allison berada di tanjakan tinggi, dalam keadaan miring. Satu detik, dua detik, benda itu tak bergerak. Luke mengedarkan pandangan ke sekitarnya dan ke bawahnya dengan gugup. Sepertinya mereka berada di tanjakan puncak, tanjakan paling tinggi di wahana itu.
Terdengar kegaduhan di sekitar mereka, dan operator wahana mengumumkan bahwa ada kesalahan mendadak pada sistem yang kini sedang diperbaiki. Allison gemetar, ia merasakan bagian dari roller coaster yang ia tempati bergerak-gerak di atas relnya, menimbulkan bunyi derakan perlahan.
“Luke,” gadis itu meraih tangan Luke, menggenggamnya erat. Ia takut, dan bayangan tentang adegan kecelakaan roller coaster dari film Final Destination ketiga muncul di kepalanya. Jantungnya berdegup kencang, dan ia tak bisa mencegah ketakutan itu muncul.
“Tenanglah. Semuanya akan baik-baik saja. Mereka akan memperbaiki semuanya,” Luke menyahut dengan suara yang agak gemetar. Ia pun dilanda ketakutan dan pikiran-pikiran negatif akan hal buruk yang mungkin terjadi. Orang-orang yang duduk di depan dan belakangnya pun tampaknya juga panik. Di bawah sana, juga mulai banyak orang yang melihat pemandangan roller coaster macet itu.
Tiba-tiba terdengar suara-suara aneh seperti deru mesin dan besi berdenting. Allison makin gemetar ketakutan saja. Rasanya ia ingin mengompol saking takutnya. Tenggorokannya serasa tercekik karena panik. Ia kesulitan bernapas. Tangannya semakin erat menggenggam tangan Luke. Hingga akhirnya ia menoleh ke arah Luke, menatap cowok itu dalam-dalam.
“Kalau ini saat-saat terakhir hidup kita, aku hanya ingin minta maaf, atas semuanya...” bibir Allison bergetar ketika mengucapkannya. Ia tak berani menoleh ke bawah, realita bahwa kini ia jauh beberapa meter dari permukaan bumi membuatnya takut setengah mati.
Sebelumnya, gadis itu tak pernah takut pada ketinggian. Tapi, detik ini, sepertinya pemikirannya berbalik. Ketinggian ini akan membunuhnya – itu yang ada di pikirannya sekarang. “Luke, aku – “ ia tak melanjutkan kalimatnya, namun semakin erat menggenggam tangan Luke. Tangan mereka sama-sama dingin dan berkeringat, dan satu-satunya yang menguatkan mereka kini adalah satu sama lain.
Mendadak semuanya berubah menjadi adegan telenovela melankolis. Luke gemetar hebat. Ia benar-benar merasa kalau kematian sudah di depan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anything Could Happen ✖️ hemmings [a.u.]
FanfictionLuke Hemmings tahu bahwa kasus 'jatuh-cinta-terhadap-sahabatmu-sendiri' adalah hal yang teramat klise. Ia sudah bosan mendengar berbagai kisah tentang kasus itu, sebosan ia menunggui Ashton Irwin, Calum Hood, dan Michael Clifford bermain game. Sebos...