Hari Minggu baru saja dimulai tiga puluh tiga menit yang lalu.
Jam menunjukkan pukul 00.33.
Allison terbangun dari tidurnya secara tiba-tiba. Entah apa yang membuatnya terbangun. Mimpi buruk kah? Oh, gadis itu bahkan tidak bermimpi malam ini – atau mungkin mimpinya langsung pudar dari otak begitu ia membuka mata. Ia merasakan napasnya terengah-engah, entah bagaimana bisa begitu.
“Oh Tuhan, apa yang terjadi?” Allison mendesah keras, lalu menarik selimutnya lagi, berusaha untuk tidur kembali.
Tapi ketika matanya tertutup, hal-hal itu tiba-tiba mengalir deras memenuhi kepalanya. Astaga, malam seperti ini lagi. Seperti ada setan-setan dalam tubuh Allison yang mendorongnya untuk berjalan dan mengambil benda itu. Cutter itu. Allison berusaha melawan dorongan itu sekuat tenaga.
Kau jelek. Kau jelek. Kau jelek. Tidak ada orang yang menyukaimu. Kau jelek. Kau jelek. Kenapa kau tidak ambil saja cutter itu dan sakiti dirimu yang jelek itu? Seperti ada yang membisikkan kalimat-kalimat itu ke telinga Allison berulang kali.
Aku janji tak akan melakukannya lagi. Aku janji tak akan melakukannya lagi. Allison berusaha menguatkan dirinya, dan tiba-tiba ia teringat sesuatu, seseorang lebih tepatnya. Dengan cepat ia meraih ponselnya dan membuka kontak, mencari nama orang itu di sana.
***
Luke mengerjap-ngerjapkan matanya, terbangun dari tidurnya. Ponselnya berdering keras, dan masih dengan mata setengah terpejam, ia meraih benda itu. Ada panggilan masuk. Cowok itu tak sempat membaca nama pemanggil yang tertera di layarnya. Ia langsung mengeklik tombol jawab begitu saja.
“Uh, siapa ini? Ada apa?” tanya Luke malas.
“Luke, ini Allison,” di seberang sana, Allison merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia selalu berpikir kalau suara sleepy seorang cowok adalah salah satu hal terseksi di dunia. Dan ia berani bersumpah, suara sleepy Luke bisa dibilang lebih dari sekedar seksi.
Mendengar nama itu, mata Luke langsung terbuka lebar. Seperti diprogram, ia langsung duduk tegak di tempat tidurnya. “Ada apa, Allison?” tanyanya cepat. Apa pun yang terjadi, itu pasti hal buruk. Mana mungkin Allison meneleponnya lewat tengah malam begini kalau semuanya baik-baik saja?
“Luke, kau bilang kepadaku, aku boleh menghubungimu kapan pun kalau aku merasakan dorongan untuk –“
Astaga. Mata Luke terbuka makin lebar. “Ya, aku ada untukmu sekarang. Apa yang bisa kulakukan untukmu?”
“Apa kau mau menemaniku jalan-jalan? Aku akan mencoba menyelinap keluar dari rumahku.”
“Oke, tentu saja,” balas Luke tanpa banyak berpikir. “Aku akan segera menemuimu di depan rumahmu. Tunggu aku, ya?”
Telepon ditutup. Luke cepat-cepat menyambar jaket dan memasukkan ponsel ke saku celana pendeknya. Ia lantas keluar dari kamarnya dan berjalan menuju garasi.
Luke tahu benar, ibunya selalu lupa melepaskan kunci garasi dari gemboknya yang tergantung di bagian belakang pintu. Luke pun memutar kunci itu, melepas gemboknya, dan, yeah, sliding door itu tak terkunci lagi.
Dengan tenaga maksimal dari seseorang yang masih mengantuk, Luke mendorong pintu garasinya ke sebelah kanan, dengan gembok yang masih ada di genggamannya. Lalu ia menuntun sepedanya keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anything Could Happen ✖️ hemmings [a.u.]
Hayran KurguLuke Hemmings tahu bahwa kasus 'jatuh-cinta-terhadap-sahabatmu-sendiri' adalah hal yang teramat klise. Ia sudah bosan mendengar berbagai kisah tentang kasus itu, sebosan ia menunggui Ashton Irwin, Calum Hood, dan Michael Clifford bermain game. Sebos...