19. Their Own Teenage Dream [1]

6K 442 43
                                    

A/N: Halohalooo! Sebelumnya, mau ngasih tau sesuatu nih, hehehe. *cough* *clears throat* Jadi begini, kemarin kan, aku bilang kalo ceritanya tinggal dua part lagi, termasuk epilog. Dan kemarin, sampe tadi, aku ngedit part 20 dan tiba-tiba sadar kalo part 19-nya panjang banget, hampir 4000 words.__. Jadi, karena aku nggak mau mata kalian keburu merem gara-gara baca terlalu banyak kata, akhirnya part 19 aku pecah jadi dua._. Tapi tenang aja, pecahannya (alias part 20 sih ya) bakal dipost secepatnya, insyaallah sih besok itu :) Errr, gitu aja sih yang mau kubilangin. Enjoy this part! Please leave vote or comment, I'll appreciate it all!

----------------

         “YOU MAKE ME FEEL LIKE I’M LIVING A TEENAGE DREAM, THE WAY YOU TURN ME ON!” mobil yang sedang melaju sepanjang jalan pinggir hutan itu berisi penuh kehebohan. Di dalamnya, suara teriakan, musik, gelak tawa, dan raungan mesin mobil bercampur menjadi satu. Sudah tak perlu ditanya, siapa yang ada di dalam mobil itu.

            “I CAN’T SLEEP, LET’S RUNAWAY AND DON’T EVER LOOK BACK, DON’T EVER LOOK BACK!”

            “Luke, lihat jalan, dong! Jangan melihatku terus!” Allison tergelak, lalu mendorong kepala Luke supaya wajahnya menghadap lurus ke depan lagi. Sekarang sudah pukul setengah lima sore, dan akhirnya mereka mengakhiri petualangan mereka di Thrillville Park. Sebenarnya mereka bisa pulang melewati jalan kota yang ramai, tapi Luke malah memilih melewati jalan pinggir hutan yang sepi, berkelok-kelok, dan penuh tikungan tajam.

            “MY HEART STOPS WHEN YOU –“

            Zzzt. Detik itu, tiba-tiba ada sesuatu yang berhenti. Bukan, bukan jantung Luke atau Allison yang berhenti. Bukan pula matahari senja yang berhenti bersinar. Bukan pula langit merah yang berhenti menaungi mereka. Bukan pula – oh, lupakan saja, ini bukan saatnya menggunakan kalimat-kalimat syahdu seperti itu, karena keadaan sekarang ini sama sekali tidak syahdu. Ini sial!

            “Luke, kenapa mobilnya berhenti?!” setelah beberapa detik keheningan menyentak mereka, Allison memekik seperti anak ayam tercekik. Mobil itu memang tiba-tiba berhenti, dan sekarang ada hening menyelimuti. Tak ada suara raungan mesin atau hentakan musik lagi.         

            “Astaga, kenapa harus sekarang?!” Luke mendesah keras, mengacak-acak rambut pirangnya dengan frustrasi, lalu membuka pintu di sampingnya, melompat turun. Mobilnya mogok di jalan sepi, pinggiran hutan, dan sepertinya sedari tadi tak ada kendaraan lain yang melewati jalan. Menyedihkannya lagi, Luke sama sekali tidak tahu menahu soal mesin-mesin. Yang ia tahu, bensin mobilnya masih banyak.

            Melihat Luke yang turun, Allison pun ikut-ikutan turun. “Jadi, apa yang terjadi pada mobilnya?” tanya gadis itu sambil berkacak pinggang.

            Luke baru akan membuka kap mobilnya, ketika ia menoleh ke arah Allison. Mereka ‘terjebak’ di pinggir hutan seperti ini, bersama mobil tua yang mogok mendadak. Hanya berdua. Hanya berdua. Tiba-tiba, pikiran Luke dipenuhi kemungkinan akan hal-hal yang bisa terjadi pada ia dan Allison dalam keadaan seperti ini. Ketika hanya berdua di tempat sepi seperti ini.

            Contohnya adalah…

            … bisa saja ada belasan monyet menghambur keluar dari balik pepohonan dan menyerang mereka hingga mereka tewas, lalu sebuah truk pengangkut akan menemukan mayat mereka dan memasukannya ke dalam bak belakangnya yang berisi sapi. Kemudian mayat mereka akan dibiarkan di sana beberapa hari, hingga membusuk dan melebur dengan kotoran sapi – dan dijadikan kompos yang bakal diekspor ke Vietnam.

Anything Could Happen ✖️ hemmings [a.u.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang