Part 13

30.3K 1.4K 10
                                    

"Darel.." Avena membuka pintu dengan tangan kirinya, kepalanya menyembul dari pintu. Ketika mendapati Darel sudah sadar, Avena tersenyum ceria. Lalu masuk dengan tidak sabaran.

"Ada apa?" Suara Darel melemah, Avena jadi tidak enak.

"Menengok, emangnya nggak boleh?" Avena mengerucut sebal.

Darel tersenyum tipis, tangannya bergerak menepuk sisi ranjang yang masih kosong, mengisyaratkan Avena.

"Huh?" Avena mengernyit tidak mengerti.

Lelaki itu berdecak. "Tidur, Avena."

Avena terlihat ragu. Tapi pada akhirnya menuruti permintaan Darel, tidur di sisi lelaki itu. Mereka berdua sama-sama menatap langit-langit kamar rumah sakit ini yang berwarna putih.

Avena jadi heran. Kenapa ya rumah sakit itu harus berwarna putih? Jarang sekali ia menemukan rumah sakit yang bercat warna lainnya. Seharusnya agar pasien betah dan terkesan saat menginap di rumah sakit, mereka punya cara tersendiri. Misalnya seperti mendekor rumah sakit dengan warna-warna, mungkin bisa ditambah dengan stiker dinding bergambar. Apa lagi jika yang berobat adalah anak-anak, biasanya mereka akan takut jika melihat rumah sakit. Tapi kalau dengan tambahan hiasan, bisa jadi mereka jadi betah dan bisa mengalihkan perhatian yang sebelumnya takut menjadi terkesan.

Memang sih untuk ukuran anak-anak pantas. Tapi orang dewasa bagaimana? Tidak mungkin kan disaat berduka, interior rumah sakit malah berwarna-warna seperti mengejek duka mereka.

Avena terkekeh sendiri memikirkan hal yang tidak penting. Bisa-bisanya ia memikirkan hal yang tidak masuk akal. Ini kan rumah sakit milik orang, suka-suka orang yang punya lah. Mau diapakan juga Avena tidak ada sangkut pautnya.

"Kenapa ketawa?" Darel menoleh. Avena juga ikut menoleh. Mata mereka bertemu.

"Mmm.. lagi mikirin gimana caranya orang-orang nggak bosen tinggal di rumah sakit." Avena menjawab sambil menyengir. Darel jadi gemas sendiri.

"Setidak penting itu kah? Emangnya lo mau jadi dokter?"

Avena menggeleng. "Tidak juga."

"Designer?"

Kali ini Avena mengangkat jari telunjuk kirinya lalu menggerakannya ke kanan dan ke kiri. "No, no, no."

"Ya terus kenapa mikirin begitu?"

Avena mendesis. "Iseng, Darel."

"Ya udah, biar nggak iseng mendingan mikirin gimana caranya kita berdua bangun rumah tangga nanti."

"Darel!" Avena mencubit perut Darel. Lelaki itu terkekeh. "Makasih ya." Avena mengatakan dengan tulus. Mata mereka masih bersitatap.

"Bosen gue dengernya. Terimakasih mulu lo, nggak capek apa?"

"Ya habisnya mau gimana lagi? Segalanya lo yang lakuin saat-saat gue kenapa-napa."

"Sini.." Darel merentangkan sebelah tangannya pada Avena. Gadis itu malah mengernyit lagi. "Jangan bilang nggak ngerti lagi?"

Avena memandang perban di kepala Darel. Ini hanya alibinya saja untuk menghindari tatapan Darel, padahal jantungnya sudah seperti habis lari maraton saat mengetahui maksud lelaki itu.

Peluk. Tidak. Peluk. Tidak. Peluk.

Haish, kenapa pilihannya jatuh ke peluk.

Dengan satu gerakan, Avena sudah berada dalam rengkuhan tangan Darel. Avena diam-diam tersenyum manis, rasanya nyaman dan hangat sekali. Ia ingin tidur di dekapan lelaki itu.

"Tangan lo masih sakit?" Darel melihat tangan Avena yang kaku. Ia jadi khawatir tangan itu kenapa-napa. Usahanya membuat Avena tidak luka malah sia-sia.

Young Bride (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang