1 - Casandra

11.1K 620 8
                                    

Aku mengemudikan mobil melalui jalanan pusat kota yang macet. Telepon berdering, saat kuintip kulihat nama Luna, sahabatku, muncul di sana. Aku sedang tidak ingin mengangkat telepon dari siapapun, aku juga sedang tidak butuh kalimat penenang dari siapapun.

Sembari sesenggukan, kuhapus air mata yang terus-terusan turun dengan kasar. Ku kemudikan mobil perlahan karena sebentar mataku jadi buram.

Kalau aku mati sekarang, dalam sebuah kecelakaan mobil misalnya, mungkin semuanya bakal lebih baik. Ayah bisa melanjutkan hidupnya dengan baik karena kehilangan beban anak sepertiku. Ibu juga bisa hidup lebih baik karena tidak perlu menahan kesabaran yang sudah ia lakukan selama bertahun-tahun terakhir. Kakak-kakakku, mereka juga tidak perlu merasa kecewa. Semua orang bakal hidup lebih baik.

Tangis tak hendak surut juga, walau aku menjerit di sela-sela kegemasan soal ingatan yang datang tanpa diminta, membuatku sesak napas.

"Kenapa?!" kupukul-pukul setir mobil itu dengan kekuatan penuh sampai tanganku sakit.

Ponsel berbunyi lagi, meraung-raung membuat kepalaku sakit. Saat kuintip ke arah ponsel, kulihat nama seorang itu di sana. Yang sudah bersama denganku selama tiga tahun terakhir, menemaniku, yang paling mengerti aku, tapi sayangnya, satu dunia pun tidak ada yang bisa mengerti kami. Kutatap lama ponsel itu, aku ingin meraihnya, mendengar suaranya yang tenang bisa mengembalikan kehidupanku, bahkan dalam kadar terbaiknya bisa memulihkanku cepat dari sakit keras sekalipun.

Dia obat, tapi juga sekaligus penyakit yang selama ini kuidap.

"Hallo, Cas?" tanya suara diujung sana, sebentar hilang bersama napasku yang berat. Kutekan ponsel ke telingaku berharap bisa mengurangi suara napasku yang mungkin bisa dia dengar. "Kamu nggak perlu begini? Oke? Kita bisa bicarakan ini lagi dengan ayahmu, aku yakin lama kelamaan dia pasti bisa ngerti. Jangan kabur kaya gini, Cas, jangan kaya anak kecil. Ini nggak akan nyelesaiin masalah... kamu balik ke rumah sekarang, bicara baik-baik sama ayah kamu... Dan soal aku..."

"Apa?" tanyaku parau, kupotong ucapannya, "Kau sudah merelakanku... kau menyuruhku pergi... kau tidak bisa memerjuangkanku, itu yang mau kau katakan?" tanyaku sinis.

Laki-laki itu diam lama sampai aku bisa mendengar napasnya yang nyaris serupa seperti napasku, putus asa.

"Kau tahu apa yang terlintas di kepalaku saat kau bilang kau minta putus?" tanyaku mencoba tenang yang rasanya sia-sia, "aku membayangkan bagiamana hidupku bisa aku lalui seorang diri besok.

"Tiga tahun, Fa, tiga tahun kamu yakinin aku kalau kamu bakal dukung aku, kalau kamu bakal dukung aku mencapai mimpi-mimpiku, tapi ternyata kamu sama seperti yang lain, kamu mundur saat berhadapan dengan ayah..."

"Kita bisa berteman."

"Berteman?!" aku tertawa miris. "Melihat batang hidungmu saja aku tidak sudi. Aku tidak tahu kenapa aku bisa mempertahankan seorang pengecut selama ini. Kau mengatakan bahwa sosok monster seperti ayahku bukan apa-apa, tapi kau mundur juga pada akhirnya, mengepakkan sayap seperti ayam..."

"Casandra, dengar, ini bukan persoal apa kita bisa melawannya atau tidak, tapi dia ayahmu."

"Dan dia selalu menang, itukah yang ingin kau katakan? Membiarkan dia mengatur hidupku, bahkan untuk mimpi yang harus kukejar dan bahkan untuk laki-laki yang ingin kuhabiskan hidupnya selama hidupku?"

"Sama sekali bukan seperti itu..." ucap Dhafa rendah dan tidak yakin yang membuatku semakin ingin menabrakan mobil ke pohon.

"Aku akan mengirimkan padamu, aku pastikan kau akan menerima langsung undangan pernikahan itu dariku, dan kau... tidak perlu khawatir soal bagaimana menyingkirkan seorang sepertiku lagi, kau bisa hidup dengan baik mulai sekarang."

Two Lies, One Truth (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang