Saat aku akhirnya mengiyakan keinginan ayah untuk menikahi calon pilihannya, aku pikir aku bisa sedikit bersantai untuk beberapa saat tanpa berdebat dan bertengkar lagi dengannya. Tapi jam kuliahku jadi sama sekali kacau, aku tahu ayah memang selalu ingin mengacaukan kuliahku. Setiap saat ayah sudah menelpon.
"Kapan pulang? Katanya mau nikah, calonmu akan datang hari ini, kenapa masih saja diluar?"
Tentu saja ayah sudah seperti menemukan kesenangan saat tahu anak perempuannya yang paling terakhir ingin menikah.
Aku masih dua puluh satu tahun ini, serasa sudah kepala tiga dan cukup matang. "Memangnya mereka mau punya istri yang nggak bisa apa-apa sepertiku?" tanyaku suatu kali, ayah melotot dan ibu merasa perlu untuk menjawab.
"Tidak ada yang tidak bisa dipelajari, jika harinya tiba, ibu akan turunkan semua ilmu rumah tangga ibu padamu. Ini sudah tradisi turun menurun," mendengarnya aku hanya bisa mendengus.
Semua temanku selalu bilang memang ada yang salah dengan keluargaku dan aku akan selalu menyalahkan ayahku yang kolot. "Dia pernah terjebak di dalam gua semasa mudanya," lelucon itu pasti membuat mereka tertawa.
Itu sudah malam saat aku sampai ke rumah karena beberapa tugas yang harus diselesaikan di kampus tadi. Dari luar aku tahu sedang ada tamu di dalam. Ini jelas sepatu yang berbeda dari yang kemarin, sepatu yang ini lebih bagus, berwarna coklat dengan motif LV. Aku menata napas lagi dan menguatkan diriku.
Aku masuk dan tatapanku langsung terarah pada laki-laki yang duduk di ujung sofa, paling dekat dengan pintu. Dia mengangkat kepalanya dan dia menatapku. Benar, ini dia laki-laki yang akan dijodohkan denganku. Aku mengedarkan pandanganku, ibunya menatapku begitu juga ayah dan ibu. Mereka menyambutku dengan senyuman.
"Padahal aku sudah menyuruhnya mengambil cuti sehari, tapi dia tidak mau," ucap ibu. "Jadinya cuman bisa makan malam di rumah." Mereka semua masih saja tersenyum, aku jadi curiga apa yang mereka pikiran tidak sesuai dengan senyuman mereka.
"Ganti pakaianmu dulu, Cas, kita ketemu lagi di ruang tengah untuk makan malam," ibu berdiri memegang bahuku dan membawaku berjalan dengannya. Dia masuk bersamaku ke dalam kamar. Aku tidak menolak, ini sudah jadi bagian dari tekadku untuk mengikuti mau ayah.
Ibu mulai membongkar lemariku untuk menemukan pakaian terbaikku. "Kau tidak punya gaun?" Tanyanya.
"Kenapa aku harus pakai gaun saat makan malam?" gerutuku tapi ibu tak mendengar. Aku masuk ke kamar mandi dan mulai mandi, saat selesai ibu sudah meletakan baju berwarna merah mudah dan rok berwarna putih tulang sebetis. Aku menatap baju itu dan bertanya-tanya dari mana datangnya, aku jelas tidak pernah punya baju semacam itu.
Saat keluar dari kamar, mereka sudah siap di atas meja makan. Ibu pasti menghabiskan banyak uang untuk memenuhi meja seperti itu. Banyak sekali makanan di sana. Melihatku, ibu mulai tersenyum dan melambaikan tangan. Aku menatap laki-laki itu lagi dan mencoba tersenyum tapi tidak bisa. Dia menatapku dan kemudian menatap ke arah piringnya yang sudah terisi. Aku tidak tahu kenapa kami tiba-tiba harus berpura-pura seakan kami tidak pernah bertemu. Sejujurnya aku juga terlalu canggung untuk menemuinya seperti ini. Aku mungkin tidak menganggapnya baik, tapi dia mungkin juga tidak akan menganggapku baik. Malam ini kami berlagak seakan hari kemarin itu tidak pernah terjadi.
Aku pun duduk di sampingnya, menjadi bukan diriku sendiri untuk sesaat. Aku memperlakukan rokku dengan baik dan merapatkan kakiku. Ibu mulai mengisi piringku kemudian mempersilahkanku untuk makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Lies, One Truth (TELAH TERBIT)
Storie d'amoreCerita ini sudah terbit loooh. Kalau mau baca atau mau koleksi bisa pesan ke instagram atau tokopedia @lokemediasamarinda atau bisa juga WA ke 087725660563 ** Rangga dan Casandra memulai pernikahan mereka dengan niat yang salah. Mereka berpikir bahw...