26. Casandra

4K 340 14
                                    

Itu adalah pagi yang canggung untukku. Aku bangun lebih dulu dan bersiap untuk berangkat kuliah. Aku berangkat lebih dulu sebelum laki-laki itu sempat bangun.

Hari itu anak-anak di kampus sedang mempersiapkan untuk keluar kota untuk mendatangi pembicaraan yang diadakan dengan beberapa narasumber terkenal. Aku berada di tengah-tengah mereka sambil menyimak dengan baik. Seperti biasa Fadil yang mengatur semuanya. Kita hanya perlu mengumpulkan uang dan dia yang menyelesaikan semua persiapannya untuk kita.

Jika mengingat hal ini, aku jadi ingat saat kepergianku ke Kalimantan. Pernikahan memeng sesuatu yang berbeda, aku tidak bisa memungkirinya. Aku jadi harus berpikir seribu kali sebelum memutuskan akan melakukan sesuatu.

Setelahnya, Luna menemaniku makan di kantin, kami memesan soto ayam dan dua gelas es teh kemudian meletakannya di tempat yang paling dekat dengan kipas angin. Awalnya Luna tidak mengatakan apa-apa, kupikir dia ada masalah yang membuatnya jadi pendiam. Saat aku akhirnya bertanya selesai makan, dia mulai bicara.

"Aku tidak tahu harus mengatakannya atau tidak, kupikir kamu pasti tidak mau terlibat. Ini soal Bagas dan Dhafa. Mereka bertengkar di tempat kerja Dhafa sehingga Dhafa dipecat dan harus ganti rugi, tapi bukan itu bagian terburuknya," aku melihat kilatan ragu dari mata Luna untuk meneruskan ucapannya.

"Apa? Ada apa dengannya?" Aku tidak bisa menahan diriku.

"Dia masuk rumah sakit, dikeroyok, dua belas jahitan."

Aku terpaku, kehilangan semua kata-kata di dalam kepalaku. Tapi itu rasanya tidak mungkin, kemarin Dhafa menelponku dan dia terdengar baik-baik saja.

"Dia bilang aku tidak perlu memberitahumu soal itu, tapi aku jadi sedikit kasihan. Dia berkelahi untuk membelamu, rasanya tidak adil jika kamu tidak tahu."

"Kamu... mau menjenguknya denganku sekarang?" Aku sudah tidak peduli lagi untuk menahan diriku, aku sudah seperti memukuli diriku sendiri setiap kali melakukannya. Benar, tidak adil, Dhafa tidak pernah mendapat perlakuan yang adil setiap kali berhubungan denganku, dan yang paling menyiksaku, dia terus merasa baik-baik saja soal itu.

Luna memboncengku dengan sepeda motornya dan kami menuju rumah sakit. Saat hendak menuju ke kamar perawatannya, aku melihat Dhafa dengan lengan di perban dan wajah biru-biru berdiri dengan seorang suster di koridor di dekat sana. Dia juga tidak mengenakan baju rumah sakit.

Aku menghampirinya perlahan berharap suster itu segera menyelesaikan orbrolannya, tapi aku malah mencuri dengar obrolan mereka yang kemudian membuatku kesal. Suster itu pergi dan aku menghampiri laki-laki itu.

"Kamu memaksa untuk pulang?"

"Kamu di sini?" Dia tampak terkejut, tapi aku jadi terlalu marah sekarang. Aku marah karena dia begitu ceroboh menghadapi Bagas dan kawan-kawannya, aku marah karena dia masih saja membelaku bahkan saat kami tidak lagi memiliki hubungan apa-apa. Napasku jadi tak karuan, aku menatapnya tajam yang membuatnya kebingungan. "Aku sudah baikan," dia menjawab akhirnya. Mengabaikanku, di berjalan melaluiku. Aku menyusulnya.

"Kenapa kamu melakukannya? Apa kamu ingin membuatku merasa bersalah karena kita sudah putus?"

"Aku melakukannya karena dia pantas mendapatkannya."

"Sekarang lihat siapa yang berbicara, kamu pantas mendapat banyak luka seperti ini?"

Dia berjalan cepat untuk segera keluar dari rumah sakit. Aku juga tidak nyaman berada di tempat ini. Aku ingin berteriak dan memarahinya dan menyumpah padanya tanpa semua orang melihat ke arah kami.

"Dhaf, aku benar-benar tidak suka ini, kamu tahu seberapa buruk jadinya aku sekarang setiap melihatmu?" Kami berdiri di depan rumah sakit dan berhenti untuk saling berhadapan. Aku jadi bisa menatap nanar ke arah lebam biru yang ada di matanya dan membuat mata itu jadi tidak terbuka sama sekali.

Two Lies, One Truth (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang