6. Casandra

4K 304 0
                                    

Kakakku, Ema, tampak begitu bahagia menyambut pernikahanku, walau dalam keadaan hamil dia membantu segala persiapan. Mulai dari gedung, gaun, katering sampai undangan, dia yang mengatur semuanya. Sejujurnya aku tidak ingin pesta yang terlalu besar dan mewah. Aku bahkan tidak bilang apa-apa pada teman-teman di kampus, tapi Lusi sudah membagikan semua informasinya dan dalam beberapa minggu aku sudah menjadi bintang jurusan.

Aku bahkan enggan mengambil cuti libur kuliah dan baru mencoba gaun pengantinku satu hari sebelum hari H. Jika saja Kak Ema tidak membantu, aku mungkin tidak akan mengenakan apa-apa selain gaun kumel ke pesta pernikahanku sendiri.

Kakakku yang satu lagi, Jenata, yang sudah begitu sibuk mengucilkan diri untuk mengurus anak dan suaminya, hanya bisa membantuku dengan memberikan berbagai macam nasehat sebelum pernikahan. Yang aku tahu, semua nasehatnya sangat tidak berbobot.

"Kau tahu apa yang paling penting dalam pernikahan?" Tanyanya, "seorang istri yang jujur dan suami yang bertanggung jawab, yaitu saat dia bisa memberikanmu cukup uang dan kau bisa membelanjakannya tanpa perhitungan," aku menatapnya agak lama saat itu, aku menatapnya dengan sindiran dari atas sampai bawah, dia bahkan membajiri seluruh tubuhnya dengan barang bermerk.

Dia menggerak-gerakkan alisnya kesenangan, "sebenarnya penjabaran ini lebih cocok untukmu dan untukku, Ema sudah ditakdirkan hidup sederhana sampai dia mati."

"Apa maksudmu?" Tanyaku tak berselera.

"Apa lagi, hobi wanita hanya ada dua, mempercantik wajahnya atau mempercantik tubuhnya, tapi jika tidak keduanya, maka kau menyia-nyiakan kodratmu sebagai wanita," katanya seperti seorang ahli.

"Walau aku gendut dan tidak cantik itu tidak akan mengubah kodratku sebagai wanita," aku membenarkannya setelah memutar mataku.

"Benar, tapi setelah menikah kau bukan lagi hidup untuk dirimu sendiri, kau juga hidup untuk suamimu. Kau tahu apa yang dikatakan Ferdi saat malam pertama?"

"Aku tidak mau mendengarnya," aku mengalihkan pandangan pertama kali.

"Jika laki-laki dan perempuan berada dalam ruangan tertutup berduaan, hanya akan ada satu kemungkinan," aku menutup ke dua telingaku sambil menggelengkan kepala tak ingin dengar, tapi Jenata tak peduli dan tetap lanjut bicara, "mereka pasti telanjang bulat."

"Ibu!! Kakak bicara kotor!" Aku berteriak.

"Kenapa? Kau juga akan melaluinya nanti."

Aku bangkit berdiri dan hendak berlari, Juneta menarik tanganku dan memaksaku untuk mendengar sisanya. Jika ibu tidak datang pada akhirnya, kami mungkin akan mulai saling berteriak. Tapi tidak seperti biasanya, ibu berpihak padaku. Dia mengomeli Juneta yang hanya dibalas dengan anggukan dan mulut berkerut oleh Juneta. Aku cekikikan melihatnya sebelum kemudian masuk ke dalam kamar.

Sejujurnya aku berusaha untuk tidak mengkhawatirkan apapun, tapi semakin lama semakin aku memikirkannya, aku menyadari seberapa tidak benar situasi ini. Aku tidak tahu apa bisa disebut keberuntungan aku bertemu laki-laki semacam Rangga atau malah itu adalah kesialan.

Malam itu Dhafa sempat menelpon, aku menjawabnya setelah cukup lama menimbang-nimbang. Aku tidak tahu apa yang akan dia katakan setelah lama kami tidak bicara. Rasanya sudah lebih dari tiga bulan sejak kami putus dan ini pertama kalinya nama Dhafa muncul di ponselku lagi.

Dia bertanya soal kabarku dan aku menjawab aku akan menikah.

"Aku tahu," katanya yang terdengar rendah. Aku bisa membayangkan wajah sedihnya di ujung sana.

"Kenapa kau menelpon?" Tanyaku tak ramah.

"Aku... hanya ingin mengucapkan selamat," katanya dan kami diam lagi cukup lama. Aku menahan napasku dan Dhafa juga terdengar menahan napasnya. Ini bukan pertama kalinya kami berada pada situasi yang menekan kami tanpa kami bisa berbuat apa-apa.

Two Lies, One Truth (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang