Felicia meringkuk dan menangis di pojokan ruangan. Aku baru selesai mandi dan menghela napas berat saat melihatnya seperti itu lagi. Aku pun menghampirinya kemudian mengelus kepalanya sayang dan dia masih sesenggukan.
"Sudah, tidak pa pa," kataku.
Gadis itu mengangkat wajahnya. Dia nyaris mewarisi semua sifat Casandra. Dia keras kepala bahkan saat menangis sekalipun. Yang lebih menyiksaku, dia suka sekali menangis tanpa suara. Wajahnya sudah begitu merah dan basah dengan tiba-tiba. Aku juga tidak tahu sudah berapa lama dia menangis.
"Papa, Felicia mau ikut mama," katanya.
Aku mengangguk, "papa antar Felicia ke mama mau?"
"Memang bisa?" Tanyanya.
Aku tidak menjawab, berpikir apa itu mungkin atau tidak. Aku mengelus-ngelus kepalanya lagi dan kemudian menggendongnya.
"Sekarang Felicia makan dulu, mama bakal marah kalau Felicia ke sana dengan perut kosong."
Gadis itu langsung antusias, dia melompat-lompat senang di dalam gendonganku. Aku mendudukannya ke atas sofa kemudian berjalan ke arah dapur untuk memanaskan soto yang pagi sekali aku beli di luar. Saat kembali Felicia sedang menatap ke arah televisi dengan mewek lagi dan melanjutkan aksinya menangis tanpa suara itu lagi, air mata menuruni pipinya beberapa kali begitu saja. Aku menatap ke arah tv, menatap apa yang sedang gadis itu tatap.
Casandra ada di sana, sedang membawakan salah satu acara berita malam. Dia harus melakukan perjalanan ke luar pulau untuk meliputnya dan ini sudah hari ke tiga dan dia belum kembali. Terakhir aku menelponnya, dia sidang sibuk membututi seorang DPR, menunggu di depan rumah mereka selama tiga hari tiga malam. Percayalah, Casandra sangat cocok dengan pekerjaan ini, aku ragu siapa yang akan kuat lama-lama dengan kekeraskepalaan dan ketangguhannya saat menginginkan sesuatu.
Aku duduk di samping Felicia dan menghapus air matanya lagi. Dia masih saja menatap ke arah televisi sehingga aku meraih remotnya dan menggantinya ke film kartun yang bisa kutemui. Aku mulai menyuapinya dan perlahan dia mulai bisa tenang dan melupakan untuk menangisi mamanya yang sedang tidak di sini bersamanya.
Setelah makan, dia langsung tertidur pulas di atas sofa. Aku memandangi wajahnya itu, selalu kulakukan dan pasti membuatku tersenyum, dia punya wajah milik Casandra tapi dia mewarisi mataku.
Aku menggendongnya kemudian membawanya ke dalam kamar. Sebelum tidur, aku mengecek ponselku. Ada satu pesan dari Casandra di sana.
'Mungkin aku akan pulang besok' aku tidak membalas setelah membacanya. Casandra kembali online dan mengetik.
'Kamu lihat beritaku di tv?'
Aku sudah meletakan hpku di nakas dan hanya meliriknya sambil menghela napasku berat.
'Rangga'
Aku membaringkan tubuhku dan menatap langit-langit kamar lekat.
'Rangga, kamu baik-baik saja?'
'Aku telepon ya..'
'Kamu marah?'
'Kamu nggak marah, kan?'
'Rangga..'
Layar hpku terus berkedip-kedip. Casandra terus mengirim pesan tanpa henti.
Aku marah? Mungkin. Aku kecewa dia terlalu sibuk dengan kerjaannya dan bahkan tidak menelpon bahkan untuk menanyakan kabar.
Casandra jadi super sibuk. Dia sedang mengejar agar bisa dapat jadwal tayang berita pagi. Job kerjanya jadi berlimpa. Dia terlalu sibuk mencari berita yang bagus, bahkan di rumah dia terlalu sibuk menerima telepon. Terkadang dia bisa menghabiskan waktu sampai tengah malam mengejar berita, bahkan menemui orang-orang berbahaya. Aku bisa saja terus menelponnya dan dia mengangkat telepon sambil berlari ngos-ngosan karena dikejar orang atau suaranya berbisik-bisik karena sibuk sembunyi dan terkadang dia tidak mengangkat ponselnya. Itu paling membuatku marah, karena aku khawatir stengah mati sepanjang malam tanpa bisa berbuat apa-apa. Kemudian Melihatnya kembali dengan selamat entah kenapa membuatku semakin marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Lies, One Truth (TELAH TERBIT)
RomanceCerita ini sudah terbit loooh. Kalau mau baca atau mau koleksi bisa pesan ke instagram atau tokopedia @lokemediasamarinda atau bisa juga WA ke 087725660563 ** Rangga dan Casandra memulai pernikahan mereka dengan niat yang salah. Mereka berpikir bahw...