12. Rangga

3.4K 293 5
                                    

"Bukankah sulit?" Tanyaku padanya. Kami duduk menghadap tv yang tidak menyala dengan canggung, "pernikahan ini maksudku, kamu tidak lagi bergantung pada orang tuamu untuk segala sesuatu."

"Benar, sulit," jawab Casandra, "tapi lebih sulit jika aku bersama mereka dan mereka menahanku untuk apapun yang akan aku lakukan."

"Apakah lebih mudah untukmu setelah menikah denganku?"

Kulihat dia menganggukkan kepalanya dan tersenyum.

Aku mengangguk-anggukkan kepalaku dengan tampang serius, "kamu pasti bersyukur menikah denganku."

Dia tertawa, "ya, apa yang aku harus aku katakan, awalnya aku takut, tapi kamu lebih mudah dari yang aku kira."

"Lebih mudah dimanfaatkan? Tidak kan, aku tidak semudah itu dimanfaatkan, kan?"

Dia tertawa lagi, aku tidak tahu kenapa itu terdengar lucu. Aku bahkan kesusahan untuk menemukan kata yang tepat agar tidak membuatnya salah paham. "Kupikir kita saling memanfaatkan." Aku menatapnya dan dia mengerdikkan bahu tak tahu menahu. "Kamu bisa meminta bantuanku jika kamu membutuhkannya, bukankah itu yang dilakukan teman."

Benar, teman memang melakukannya dan Nicole tidak akan menyukai kenyataan itu.

"Kamu mau kopi?" Tanyanya.

"Boleh," jawabku dengan pikiran masih terlalu fokus. Casandra langsung berdiri dan berjalan ke arah dapur.

* * *

Gilang paling suka kalau harus nongkrong di ruang kerjaku. Dia bisa menghabiskan jam makan siangnya sampai jam pulang kantor di ruanganku untuk bicara banyak hal. Biasanya memang dia bicara soal proyek yang sedang kami kerjakan, terkadang dia bahkan mendesain di ruanganku. Dia bilang karena sulit berkonsentrasi jika harus mengerjakan sendiri.

Aku izin kemudian untuk mengambil kopi dan Gilang juga menyuruhku membuatkan satu untuknya. Saat aku kembali Gilang sudah berdiri di dekat mejaku dan memegang ponselku.

"Ada apa?" Tanyaku sembari menghampirinya.

"Istrimu menelpon," katanya dengan alis-alis digerak-gerakkan menggoda.

"Kau mengangkatnya?"aku meraih ponselku dari tangannya.

"Tentu saja, itu berbunyi di depanku," dia menunjuk ke arah ponselku. Aku mendengus padanya dan kembali ke kursiku. Gilang tampak menunggu di depan mejaku dan tak bergerak, dia masih menatapku. "Kamu tidak bertanya apa yang kami bicarakan?" Tanyanya tak percaya.

"Apa yang kalian bicarakan?" Ulangku seperti permintaannya yang membuat Gilang mendengus. "Wah, bagaimana gadis manis sepertinya harus terjebak bersamamu? Jika kami bertemu lebih dulu di pernikahan itu dan bukan kamu yang ditabraknya, aku pasti akan..."

"Menyesalinya," potongku, "kau akan menyesalinya saat itu juga," ulangku.

"Kau bercanda? Menyesal itu terlalu jauh. Aku pasti memacarinya saat itu juga, aku akan mengajaknya berkenalan dan dia pasti akan langsung menyukaiku. Kau tahu kenapa? Karena aku tidak punya keahlian untuk membuat orang sebal seperti keahlianmu itu."

"Kamu masih akan berbelit-belit?" Tanyaku kemudian, tak bisa bersabar lagi dengan mulutnya.

"Oke oke, dia memintamu untuk datang ke rumah ibunya sepulang kerja, katanya sedang ada kumpul keluarga," jelasnya. Gilang masih tampak menungguku dan aku tidak mengatakan apa-apa setelahnya. "Bagaimana? Kamu datang? Apa aku perlu menggantikannya untukmu? Aku bisa kok menemui orang tuanya dan bilang, 'malam tante, saya Gilang, malam ini saya yang giliran jagain anak tante soalnya Rangga lagi sibuk jagain yang lain' " ucapnya sambil nyengir kuda yang kutatap dengan wajah datar.

Two Lies, One Truth (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang