10. Casandra

3.5K 311 10
                                    

Fadil bertanya apa aku bisa ikut bersamanya rekaman hari itu, aku begitu antusias untuk menjawab. Fadil memang tak selamanya sebaik itu, dia tidak hanya mengajakku dia hampir mengajak semua orang yang dia temui. Aku tidak tahu apa aku harus seantusias itu menyambut ajakannya. Karena tidak ingin di PHP, aku megikutinya nyaris sepanjang hari itu dan bertanya apa yang harus aku lakukan di rekamannya dan apa kita bisa mengirimnya ke kantor berita atau tidak.

"Bagaimana dengan Kalimantan?" Dia bertanya. "Sejauh ini sudah tujuh orang yang akan berangkat termasuk Lusi," kata Fadil.

"Sekarang delapan," aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi.

Fadil memasang wajah datar ke arahku, "kamu yakin? Kamu baru saja menikah."

"Percayalah, suamiku seribu kali lebih pengertian dari ayahku," ucapku terlalu bersemangat. Ini akan menjadi perjalanan pertamaku keluar pulau. Biasanya ayah akan menentang habis-habisan apapun  kegiatanku yang berhubungan dengan keluar rumah sampai larut malam, tapi sekarang, aku bahkan tidak lagi membutuhkan izinnya. Sekarang, aku tidak butuh izin siapapun kecuali diriku sendiri dan itu membuatku tersenyum.

Fadil hanya menyuruhku mempersiapkan diri, bagus jika aku bisa tampil di depan kamera. Lagipula dia selalu suka gaya bicaraku.

Hari itu aku juga bertemu dengan Dhafa, aku tidak tahu apa dia sengaja menampakkan batang hidungnya atau pertemuan itu benar-benar tidak disengaja. Aku baru masuk ke dalam kantin kampus dan Lusi langsung melambaikan tangannya ke arahku. Aku menghampirinya dan tak sadar sama sekali laki-laki yang membelakangiku itu adalah Dhafa, dia berbalik.

"Cas," sapanya pertama kali sambil tersenyum.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanyaku. Aku heran apa yang dilakukannya sesering itu datang kemari saat bahkan dia tidak kuliah di sini. Aku merubah raut wajahku menjadi dingin. Lusi menyenggol tanganku.

"Memangnya dia harus punya alasan untuk datang kemari?" Bela Lusi padanya. Aku menatap Lusi dan melotot kemudian menarik tangannya. "Tidak sekarang, Cas, kita bergabung bersama yang lain," Lusi mengerdik ke arah meja di mana anak-anak yang lain juga duduk di sana. Karena sudah lama berpacaran denganku semasa kuliah, Dhafa jadi akrab juga dengan teman-temanku.

Tanpa menatapku, Dhafa duduk lebih dulu. Lusi menarikku untuk duduk dan pada akhirnya Lusi lah yang berada di antara aku dan Dhafa. Aku makan dengan cepat dan aku yakin seratus persen Dhafa sering melirik ke arahku. Saat akhirnya aku menatapnya dan saat itulah dia tertangkap basah sedang menatapku, aku tersedak. Lusi memukul punggungku terlalu kuat.

"Air," aku berkata susah payah dan dia, Lusi yang memiliki respon lemot, berdiri dari tempat duduknya untuk membeli air. Dhafa bergeser mengambil tempatnya, aku berpaling dan sesekali masih terbatuk. Laki-laki itu menyentuh lenganku dan secepat tanggap itu aku menampar tangannya.

"Aku hanya ingin memberimu air, ini, minumlah," katanya yang ditatap aneh oleh semua orang. Benar, semua orang pasti akan menatapku aneh. Lihatlah sekarang, bahkan Dhafa biasa saja berada di dekatku dan aku begitu berlebihan berada di dekat mantan pacarku. Aku tidak tahu apa yang akan digosipkan mereka sebentar lagi, 'Wanita yang sudah Menikah dan Mengharapkan Mantan Pacarnya Kembali' pasti akan jadi topik yang bagus.

Aku meraihnya setengah tersenyum dan menggumamkan terima kasih.

Kami kembali makan, dan Dhafa, dia tidak bergeser ke tempatnya semula. Saat Lusi kembali, Lusi hanya bisa mengangkat alis-alisnya menatapku dan mengambil sisi yang kosong di samping Dhafa. Aku mungkin tidak bisa bernapas sesaat saat mengira dia sudah begitu dekat di sampingku.

Semua orang mulai mengobrol saat makan, kami bisa begitu ramai karena gerombolan kami memang terkenal banyak. Aku mencoba fokus makan, kali ini dua kali lebih lambat dari yang seharusnya.

Two Lies, One Truth (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang