4 - Rangga

5.2K 367 3
                                    

Bagi beberapa orang aku bahkan masih terlalu muda. Aku 26 tahun dan pekerja keras. Aku bisa hidup bebas untuk beberapa saat. Seorang mungkin akan menganggap bahwa ibuku sudah begitu keterlaluan untuk menyuruhku menikah diumurku yang sekarang. Sejujurnya alasannya mungkin tidak sebagus orang tua kebanyakan. Dia hanya tidak suka aku pacaran dengan pacarku yang sekarang. Tidak, dia bahkan tidak menyuruhku putus saat itu, dia menyuruhku menikah.

"Mama nggak suka lihat kamu jalan sama wanita itu, kau pikir wanita semacam dia wanita yang serius. Mama hidup lebih lama dari kamu dan mama bisa langsung ngerti," katanya waktu itu. "Ajak dia menikah," putus mama akhirnya setelah beberapa jeda tanpa jawaban dariku.

Aku menghembuskan napas, begitu pasrah, begitu capek karena mama sudah mencekcokiku dan makin parah akhir-akhir ini. Dia bisa menelponku belasan kali dalam sehari, tak mengizinkanku tidur di apartmemenku, bahkan harus di rumah sebelum makan malam.

"Mama tahu kamu sudah gede, tapi kamu belum dewasa. Perempuan itu bisa saja menggodamu dan kau bisa saja menghamilinya, mama nggak mau kamu menyesal seumur hidupmu karena itu," katanya yang membuatku melongo bukan main.

Bagi mama, pacarku Nicole, adalah perempuan jalang. Aku bahkan tidak menemukannya di klub malam. Aku menemukannya saat perjalanan bisnis ke singapura dan dia juga sedang ada pekerjaan. Tapi mama tidak percaya dengan alasan itu beratus kali pun aku mencoba meyakinkannya.

"Mama tahu mama salah mendidikmu sejak kecil, mama jarang menghabiskan waktu di rumah dan malah asyik belanja. Sekarang kau jadi seperti ini, clubing siang-malam dan berpacaran dengan pelacur di sana. Kamu memang benar-benar nggak mau maafin mama ya? Apa mama harus mati saja? Karena jujur melihatmu hidup seperti ini mama nggak sanggup," begitulah katanya.

Jika kata Gilang, rekan kerjaku sekaligus sahabatku, mamaku punya semacam kelainan di kepalanya. Aku tidak mencoba menyangkalnya karena menurutku itu tak sepenuhnya salah. Saat Gilang bertanya apa yang kemudian harus kulakukan, aku menjawab, "memang apa lagi? Aku akan mengajak Nicole menikah."

Hari itu aku datang ke tempat tinggalnya. Nicole memintaku datang setelah jam delapan karena dia baru selesai pemotretan jam segitu. Saat masuk ke apartemennya kutemui wanita itu sedang menari, di dapur, sambil memasak. Aku tidak bilang dia memasak sambil menari. Sesuatu yang menarik perhatianku pertama kali adalah tubuhnya, membuatku tersenyum.

Nicole memang tidak pandai memasak, tapi aku tahu benar dia masih mau belajar melakukannya diantara banyak kesibukannya demi aku. Kutatap dia dengan senyuman di antara lagu dansa yang mengalun. Aku tidak bisa melepas pandangan bah sebentar, atau kehilangan senyumanku bah sebentar. Tatapanku beralih ke kaki jenjang dan mulus Nicole, kemudian naik ke pahanya yang ramping. Nicole mengenakan gaun tidur cantik berwarna ungu, rambutnya juga basah sehabis mandi.

Merasakan kehadiran orang lain di ruangan itu, Nicole berbalik. Aku bisa melihat payudanya dari balik gaun tipisnya . Dia tersenyum manis, "mau makan sekarang, atau nanti saja?" tanyanya dengan desahan.

Nicole menunggu, berkacak pinggang dengan cara yang sangat cantik. "Sekarang?" tanyanya, dia berjalan ke arahku kemudian  mencondongkan tubuhnya dan menyapu bibirku dengan bibirnya

"Makan, sekarang," jawabku tanpa bisa menahan diri lagi. Aku langsung meraih tubuhnya dan mulai menciumnya, melumat seluruh bibirnya, kuraih pinggangnya dan kami berjalan seperti itu sampai masuk ke dalam kamar.

Kami bahkan tidak bisa melakukannya lama-lama. Nicole berlari kembali ke dapur karena lupa mematikan kompor. Ciuman tiada akhir pun berakhir dengan napasku dan napasnya memburu. Sekarang kami harus sama-sama menelannya lagi.

Nicole kembali untuk memasak. Rambut wanita itu hanya dicempol ke atas dengan asal-asalan sehingga beberapa helai jatuh ke lehernya yang masih berkeringat. Aroma sambal goreng menguar ke seluruh ruangan. Aku yang sudah menanggalkan kemejaku berjalan ke arahnya, berdiri di belakangnya kemudian memeluknya dan meletakan daguku di atas bahunya. Kucium bahunya, kemudian kucium sedikit bau gosong, tapi aku diam saja.

Two Lies, One Truth (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang