14. Casandra

3.1K 302 10
                                    

Itu pukul sebelas malam saat kami selesai mengerjakan tugasnya. Kami benar-benar bisa mengerjakan tugas itu semalaman sampai benar-benar selesai, bahkan jika perlu tanpa tidur pun akan kami lakukan. Luna sudah lebih dulu mengeluh, dia mungkin tidak seambisi anak yang lain. Dia lebih santai dan rasional. Ibaratnya dia adalah rem untuk sebuah kendaraan.

Kami berjalan keluar berbarengan. "Kamu bawa kendaraan?" Tanyanya pertama kali. Aku menggeleng. "Telepon suamimu dan suruh dia menjemputmu, tidak akan ada angkot atau taksi malam-malam begini," katanya. Aku menatap ke arah jam dan itu memang pukul 11 malam. Aku bahkan tidak berpikir sejauh itu.

"Lun," aku memanggilnya saat dia baru melangkahkan satu langkah lebih jauh.

"Hm?"

"Malam ini aku tidur di rumahmu ya?" Tanyaku.

Dia berbalik dan menatapku dengan tatapan bertanya-tanya, aku benci saat dia harus mengedipkan matanya sebanyak itu hanya untuk menemukan jawaban yang mungkin tidak akan didapatnya begitu saja. Setelah beberapa saat kupikir dia berhasil menemukan alasannya sendiri, tapi yang ada dia malah tertawa.

"Lucu sekali, Casandra, ayo pulang," dan dia lebih memilih mengabaikanku. Aku tetap berada di atas kakiku menatap belakang tubuhnya itu lekat. "Aku sudah telepon Indra buat jemput aku, sebentar lagi dia datang," Luna berucap. Kami berdiri di depan bangunan kampus dan Luna duduk pertama kali di bangku yang ada di sana.

Sedikit kendaraan masih berlalu lalang. Pohon-pohon di belakang kami lebih menimbulkan suara berisik karena anginnya yang kuat. Ku eratkan blazer yang kukenakan.

"Lun," aku memanggilnya lagi setelah duduk di sampingnya. "Apa aku benar-benar tidak bisa tidur di tempatmu malam ini?" Tanyaku dengan suara rendah. Luna menatapmu lekat dan kali ini tanpa mencoba mencari jawabannya sendiri.

"Kenapa kamu mau tidur di tempatku, aku yakin seratus persen tempatmu lebih nyaman dari tempatku, Cas," katanya.

"Aku nggak bisa pulang malam ini," kataku memasang wajah sedih berharap bisa menarik simpatiknya.

"Kamu... bertengkar dengan suamimu?" Tanyanya, aku senang dia muncul dengan jawaban itu di kepalanya. Aku diam saja dan tak menjawab sehingga Luna mendengus dengan jelas. "Apakah separah itu sampai kamu tidak ingin kembali?"

"Hanya malam ini," mohonku padanya.

"Tapi kamu tahu sendiri kan bagaimana rumahku, aku saja tidur satu kamar dengan adik laki-lakiku. Jika kamu tidur ditempatku, kamu tidur dimana?" Tanyanya, tampak begitu kebingungan.

"Aku bisa tidur di mana saja, aku bahkan bisa tidur sambil duduk."

Luna menatapku sambil melotot, "kamu sudah gila?! Kenapa aku membiarkanmu tidur sambil duduk?! Memangnya aku monster?!" Katanya, aku meringis dan setengah menjauhkan telingaku darinya. "Oke, kita bisa tidur satu ranjang, tapi kamu mungkin tidak akan nyaman," dia memperingatkan. Aku menatapnya dan tersenyum lebar.

"Terima kasih," kataku. Luna menatapku dan mencibir "dasar" sebelum kemudian tertawa.

Luna mungkin tidak memiliki rumah sebesar rumahku. Ayahnya bekerja sebagai PNS tapi tampaknya gajinya tidak begitu cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidup mereka. Luna harus susah payah mendapatkan bea siswa walau bahkan dia benci belajar mati-matian, dia selalu kecapean setiap melakukannya sehingga nilainya juga tidak terlalu tinggi.

Rumahnya tidak begitu besar. Hanya ada dua kamar di dalam rumah. Luna tidur bersama adiknya, Indra, dan orang tuanya di kamar yang lain. Walau banyak tetangga yang tidak setuju jika mereka tidur satu kamar walau pun kakak-beradik.

Luna mengizinkanku tidur di ranjangnya dan adiknya tidur di luar kamar untuk malam itu saja. Aku bahkan meminjam baju tidurnya dan tidur satu selimut dengannya. Kasurnya bahkan tidak begitu besar, lengan kami bertemu saat kami berbaring.

Two Lies, One Truth (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang