2. Kesan Pertama

90.8K 7.3K 1.1K
                                    

Bagian Dua

Arella paling sebal kalau sudah disuruh untuk menunggu lama-lama, apalagi nggak pasti begini.

Tangannya berulangkali menekan password pada layar ponselnya, dan terus saja mengecek pesan di akun Linenya walau sudah tau sang empunya bahkan tidak membaca. Karena terakhir kali pesannya dibalas, isinya memberitahu kalau orang itu akan segera berangkat.

Arella menghubungi adik laki-lakinya, Arden, untuk segera menjemputnya karena tidak sengaja merusakkan mobil baru yang dibelikan oleh Mamanya saat tiba di Jakarta. Ia sudah menduga kejadian ini akan terjadi, tapi tetap saja Mamanya kekeuh pendiriannya untuk membelikan Arella mobil. Dan lagi, meski Arden menolak mentah-mentah untuk menjemput karena katanya belum hapal jalanan di Jakarta dan baru saja membereskan kamar baru, Arella tetap saja memaksa adiknya itu sehingga mau tak mau Arden menuruti keinginannya.

Di sini, saat tiba-tiba koneksi otaknya terhubung kembali, Arella kebingungan setengah mampus. Dapat uang dari mana dia untuk membenarkan mobilnya sendiri, ditambah mobil milik Ferrel yang hancur lebur ditabrak olehnya? Jual ginjal?

Arella mundar-mandir, mengacak-acak rambut, dan sesekali menggigiti case ponselnya. Dia kemudian duduk di kursi yang berada di depan kelas, lalu sadar kalau lorong sekolahnya masih ramai. Dia baru tau, orang-orang di Jakarta itu kalau pulang sekolah ya nggak langsung pulang. Main-main atau ngumpul-ngumpul dulu, apalagi anak SMA-nya. Arella mencuri-curi dengar saat berada di kelas.

Sedang asik berkutat dengan pikirannya sendiri, kegiatan Arella harus terhenti ketika matanya menangkap sesosok jangkung yang kini berjalan ke arahnya dari ujung lorong.

Ferrel.

"Cowok itu lagi," dengus Arella. Dia benar-benar kagok ditatap oleh Ferrel saat pertama kali apalagi karena sikapnya yang kasar dengan perempuan. Arella jadi sebal sendiri.

"Lo," panggil Ferrel, dengan rahangnya yang mengeras seperti emosi bahkan tanpa menyebut nama Arella.

Arella menghela napasnya dan diam di tempat, menunggu Ferrel melanjutkan langkahnya untuk makin mendekat. Ferrel berhenti tiga langkah di depannya seperti takut ketularan cacar.

Arella hampir saja bertanya, apaan sih ganteng? kalau ia tidak ingat kelakuan Ferrel tadi pagi.

"Kenapa?" tanya Arella dengan enggan. Menatap Ferrel dalam-dalam dan malah membuat dirinya salting sendiri karena balas di tatap kelewat dingin.

"Benerin. Mobil. Gua."

Ucapan Ferrel yang dihentakkan dalam setiap katanya membuat otak Arella memanas seketika. Terbakar saking bingungnya. Ia harus jawab apa? Gak punya duit? Kan gak mungkin, bisa hancur reputasinya di depan cowok angkuh ini.

"Aduh," keluh Arella tanpa sadar. Ia menggigit ujung bibirnya. "Gue belom punya duit."

"Mobil mahal, duit gapunya."

Sakit.

Hati Arella bagaikan teriris-iris, melebihi saat diiris oleh pisau yang padahal tidak pernah ia rasakan dan lebih sakit dari pada diputusin sama mantannya yang sudah menjalin hubungan dengannya lebih dari setahun.

"Ya, gimana ya—" Arella memikir-mikirkan alasan yang tepat untuk bergulat dengan cowok mematikan di hadapannya ini. "Beli bensin aja susah."

Catastrophe [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang