Bagian Sembilan Belas
Ferrel kini berubah jadi gelisah. Apalagi ditambah perkataan dari sahabat-sahabatnya tepat sebelum Ferrel menginjak pedal gasnya. Untungnya saat ini tidak ada orang yang melihat ekspresi gelisahnya yang Ferrel yakin akan terlihat begitu menyebalkan.
"Gas terus, Rel!!"
Membuat Ferrel ingin terus-menerus menginjak gas mobilnya sementara bukan itulah maksud yang sebenarnya. Ferrel mengerti apa maksudnya, tetapi perasaannya terus menerus menjadi gelisah dibuatnya. Apa ini terlalu cepat? Apa memang seharusnya begini?
Ferrel menghentikan laju mobilnya di depan pagar rumah Arella, berpikir dan terus berpikir. Tidak mungkin ini terlalu cepat, karena Ferrel merasa tidak tahan dengan gejolak aneh yang muncul dalam benaknya tiap kali bersama Arella. Wajahnya memang tidak menggambarkan perasaan apapun saat berada di dekat gadis itu, namun hati dan jiwanya bergejolak di dalam sana.
Ferrel merasa ini sudah tepat dan memang sudah seharusnya. Dirinya sudah terlalu sering berpikir, memikirkan dan bertanya tentang perasaannya sendiri akan seorang Arella yang perlahan mampu mengubah jiwa dan rasanya, bahkan puluhan hingga ratusan kali.
Ferrel baru saja hendak membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam pagar rumah Arella secara diam-diam untuk belajar memberi kejutan kala tiba-tiba saja pagar rumahnya terbuka. Ferrel ingin langsung keluar dari belakang dan kabur sejauh mungkin untuk menghindar, tetapi ia teringat kalau Arella pasti tau mobil dan platnya—menghibur diri sendiri berharap Arella memerhatikan—dan akan menghampiri. Kemudian benar saja, yang keluar Arella dengan kantung kresek hitam besar di tangannya, berjalan menghampiri mobil Ferrel.
Ferrel menurunkan kaca mobilnya kala Arella sudah mendekat.
"Ngapain?" tanya Arella, to the point. Ia menyibakkan rambutnya dengan bahu dan kesusahan, lalu Ferrel geregetan dan mengeluarkan tangannya untuk merapihkan rambut Arella.
"Numpang makan," jawab Ferrel enteng, membuat Arella langsung memanyunkan bibirnya. "Lo mau kemana?"
"Mau anterin ga?" tanya Arella.
"Boleh," jawab Ferrel dengan senang hati.
"Keluar dulu."
Arella mundur tiga langkah sementar Ferrel membuka pintu mobilnya dan keluar, kemudian tubuhnya yang menjulang tinggi berdiri di hadapan Arella.
"Ke mana?"
Arella menyengir penuh arti. "Buang sampah."
***
Kalau begini ceritanya, Ferrel mau pulang aja rasanya.
Setelah Ferrel harus menahan napasnya dengan susah payah dengan pergi ke tempat pembuangan sampah super besar di belakang kompleks perumahan Arella, Ferrel harus menerima kenyataan pahit lainnya: Arella dengan enaknya memegang tangan Ferrel dan meper pada jaket yang ia kenakan untuk menutupi seragamnya.
"Pinter," gerutu Ferrel, namun hanya membuat Arella cengengesan saja tanpa merasa bersalah sama sekali.
Untung sayang, batin Ferrel. Namun kemudian ia berhenti sejenak. Sayang?
"Ayo masuk," ajak Arella, lagi-lagi menarik Ferrel dengan tangan kotornya. Ferrel hanya menghela napasnya dan mengikuti langkah Arella untuk masuk ke dalam rumahnya.
"Mobil?" tanya Ferrel, lagi-lagi kembali menjadi dirinya yang seperti biasa.
"Di luar? Gapapa kok," ucap Arella seolah sadar maksud Ferrel. "Mama gue katanya penasaran sama cowok yang naksir sama jam tangan gue. Ayo buruan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Catastrophe [SUDAH TERBIT]
Novela Juvenil[[ Sudah Terbit: Tersedia di toko buku seluruh Indonesia ]] ❝ This is, more than just a nightmare. ❞ Arella Rabella, menganggap dirinya sendiri sebagai sebuah malapetaka dalam kehidupan, karena apa yang terjadi di masa lalu maupun apa yang ter...