4. Keceplosan

76.5K 6.5K 952
                                    

Bagian Empat

Ferrel masih terlelap dan hanyut dalam mimpinya, kala tiba-tiba ia tersentak bangun karena merasakan ada seseorang menyentuh pipinya dengan lembut.

Saat bangun dan tersentak, Ferrel mengira ia masih berada di alam mimpinya. Tapi, saat lagi-lagi Ferrel mendapat sentuhan itu yang kali ini menggenggam tangannya, Ferrel yakin kalau ini semua nyata. Hangat yang menjalar ke tubuhnya begitu nyata dan Ferrel merindukan sentuhan ini.

Dalam sekejap, Ferrel sudah mampu menetralkan ekspresinya dan perasaannya. Kembali lagi menjadi Ferrel yang biasa dengan rahang mengatup dan garis wajah yang keras.

Ferrel menatap sosok perempuan kisaran umur empat puluh yang masih nampak baru menjejak usia ke tiga puluh ini dengan seksama. Tak mau memulai pembicaraan sebelum perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah Mamanya ini, berbicara terlebih dahulu.

"Selamat pagi, sayang." Terdengar suaranya begitu lembut keluar dari mulutnya yang mengukir seulas senyuman tulus. Raut wajahnya terlihat lelah karena kantung mata yang agak menebal.

"Pagi," jawab Ferrel enggan. Ia langsung menyibak selimutnya dan hendak bangkit, namun tangan Arina—Mamanya—yang lembut menahan pergerakkannya. Dari caranya menahan, kentara bahwa letihnya sentuhan ia karena kelelahan.

"Sarapan di bawah sama Mama, yah?" mohon Arina.

Walau enggan, Ferrel tetap mengangguk.

Selepasnya mandi dan berganti pakaian dengan seragam, Ferrel meraih tas serta mencabut ponselnya yang dicharge semalaman saat dirinya terlelap untuk ikut serta ke bawah bersamanya.

Pada akhirnya, kakinya mengajaknya melangkah menuju meja makan di lantai bawah, duduk di samping kanan Arina yang mengambil kepala kursi. Arina tak dapat mengelakkan senyuman dari wajahnya.

"Gimana sekolah kamu?" tanya Arina.

Ferrel menghentikan kegiatannya meneguk susu putih yang sudah Arina siapkan. "Biasa," jawabnya.

Arina mengangguk paham. "Ada tagihan," ucapnya. "Dari bengkel."

Ferrel hanya diam, tak menjawab karena yakin kalimat Mamanya itu masih menggelantung. Jadi, ia menyuapkan roti ke dalam mulutnya.

"Mobil kamu kenapa emangnya?"

"Ditabrak."

Alis Arina mengerut, sekilas menampikkan kemiripan di antara keduanya. "Kok bisa? Dimana? Sama siapa?"

Ferrel mengangguk, menjawab pertanyaan pertama. "Sekolah, sama anak baru."

"Terus gimana?"

Ferrel menghela napasnya menghadapi sang Mama yang kelewat perhatian jadi banyak bertanya. Bukankah Arina seharusnya tau kalau Ferrel bukan tipikal orang yang banyak omong? Itu juga yang jadi alasan Ferrel kesal berlama-lama dengan Arina.

"Minta ganti."

Arina mendengus pelan, "Udahlah, gapapa. Biarin aja, mungkin dia masih belajar nyetir?"

Ferrel meneguk susunya dan bangkit dari posisinya. Bagaimanapun, ia tetap menyalimi Arina sebagai rasa hormat kepada orang tua walau ia enggan menanggapi omongannya itu.

Catastrophe [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang