Bagian Sepuluh
Bukan Arella namanya kalau nggak batu garis miring keras kepala garis miring susah dibilangin garis miring otak bebel.
Arella menghentakkan kakinya beberapa kali dengan kesal ke lantai, berjalan dengan emosi meletup-letup kala memikirkan apa yang barusan saja ia katakan kepada Ferrel. Ia tidak berpikir kalau dampaknya bakalan langsung terjadi begitu ia melangkah pergi. Arella menyesal dengan perkataannya sendiri dan mengacak-acak rambutnya dengan gerakkan frustasi begitu sampai di kelas.
Sedang direlung kesal akan perlakuannya sendiri, ponselnya terus saja bergetar dan berdering mengganggu, membuat kepalanya semakin pusing tak tertahan. Tangannya dengan kesal mengambil ponselnya dari dalam saku untuk menghentikan suara yang kelewat mengganggunya kala sedang emosi. Telepon masuk dan notifikasi.
Marissa: lo dimana? kok ngilang?
Arella menghembuskan napasnya kasar. Ia lupa kalau tadi dirinya berjalan menuju kantin selepas upacara selesai bersama teman-teman barunya dan terpaksa meninggalkan mereka begitu saja karena ada orang gila yang menariknya secara paksa dan membuat kesabarannya habis.
Arella: kelas. sorry gue lg pusing jd gue duluan.
Begitu selesai, langsung saja Arella memasukkan ponselnya ke kolong meja saking kesalnya.
Arella memandang lurus ke depan saat tubuhnya sudah tersandar di kepala kursi, menatap dengan kosong entah apa kala pikirannya melayang kemana-mana.
Jam tangan dari Papa gimana.. batin Arella.
Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri yang berlaku gegabah dan menyesal. Tapi, di satu sisi ia merasa kalau marah adalah emosi yang normal saat dirinya diperlakukan seperti itu. Hanya saja, ia menyesali mulutnya sendiri yang menyerahkan jam tangannya.
Haruskah ia menyesali perbuatan yang telah dilakukannya?
***
Ferrel dari tadi diam saja. Kelakuannya yang seperti biasa, diam dan tak bersuara kecuali merasa benar-benar dibutuhkan untuk mengeluarkan suara, tetapi entah mengapa kali ini berhasil membuat ketiga sahabatnya kelimpungan sendiri.
Sandi contohnya, kepalanya tak henti-hentinya menoleh ke arah Ferrel selagi guru menjelaskan di depan. Sedangkan Fellix dan Jordan yang kebiasaannya selalu menukar bangku antara mereka berempat, berulangkali menoleh ke belakang dan mendapati tatapan kosong milik Ferrel, lagi dan lagi.
"Rel," bisik Sandi, tanpa menolehkan kepalanya namun mencondongkan tubuhnya ke samping. Ferrel tetap bergeming.
"Rel." Kali ini Sandi mengadu antara bahunya dengan bahu Ferrel, menyenggolnya sehingga cowok itu luput dari lamunannya.
Tiba-tiba saja perasaan Sandi tidak enak, karena tanpa diberi aba-aba, Ferrel langsung menoleh dan menatap Sandi dengan tatapan sinis.
"Lo kenapa?" Sandi tetap bertanya, dengan setengah berbisik. Enggan menarik perhatian dari guru yang kini masih menjelaskan.
Tatapannya yang kembali menjawab. Menerangkan bawasanya Ferrel sedang tidak ingin diganggu, oleh siapapun. Akhirnya, Sandi menyerah dan membiarkan telinganya dipenuhi dengan ocehan dari guru dan mengabaikan Ferrel, sampai ia menemukan waktu yang sekiranya tepat untuk kembali bertanya.
Sampai guru keluar, pelajaran berganti, dan bell pulang sekolah berdering, tak ada yang sekalipun mencoba untuk berbicara dengan Ferrel. Tau dirinya butuh pencerahan sendiri, dan tidak suka diusik.
Ferrel berjalan begitu saja keluar kelas dan menuju parkiran setelah semuanya beres, mengendarai mobilnya untuk dengan segera keluar ruang lingkup sekolah, secepat yang ia bisa. Jadi, baik Sandi, Jordan maupun Fellix, belum menemukan celah yang tepat untuk bertanya mengenai apa yang kini tengah terjadi terhadap sahabatnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catastrophe [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[[ Sudah Terbit: Tersedia di toko buku seluruh Indonesia ]] ❝ This is, more than just a nightmare. ❞ Arella Rabella, menganggap dirinya sendiri sebagai sebuah malapetaka dalam kehidupan, karena apa yang terjadi di masa lalu maupun apa yang ter...