[[ Sudah Terbit: Tersedia di toko buku seluruh Indonesia ]]
❝ This is, more than just a nightmare. ❞
Arella Rabella, menganggap dirinya sendiri sebagai sebuah malapetaka dalam kehidupan, karena apa yang terjadi di masa lalu maupun apa yang ter...
Sebenarnya Ferrel gak begitu memikirkan soal uang ganti dari Arella, tapi Ferrel merasa kalau cewek itu perlu bertanggung jawab atas perbuatannya. Atau, nantinya dia pasti bakal ngelunjak kalau dibiarin saja.
Akhirnya Ferrel sudah memutuskan, dan tangannya memasukkan jam tangan berwarna hitam pekat itu ke saku celana olah raganya, dan beralih lagi menuju ponselnya. Ia mengetik sesuatu di sana.
Ferrel Ravaro: ywd.
Mengunci kembali ponselnya dan ia masukkan kembali, Ferrel meninggalkan bola basket di lapangan dan melangkah untuk menghampiri ketiga temannya di kantin.
***
Saatwaktunya pulang sekolah, Arella kelimpungan bukan main.
Bukannya apa-apa, pasalnya, Arella baru sadar kalau dia kehilangan jam tangannya saat sedang menunggu Arden untuk menjemputnya pulang di samping meja receptionist.
Arella membuka layar ponselnya dan segera menyalahkan koneksi internet di pengaturan, kemudian membuka aplikasi messanger Line miliknya.
Pada awalnya, Arella hanya ingin bertanya di grup kelasan yang baru ia masukki beberapa hari lalu, tetapi siapa sangka kalau tangannya malah langsung bergerak secepat kilat untuk membuka pesan yang dikirim oleh seseorang yang memporak-porandakkan hatinya karena panik sejak hari keduanya bersekolah di sini.
Ferrel Ravaro: ywd.
"Astagfirullah." Arella mendengus begitu selesai membaca pesan yang Ferrel kirimkan. "Ngomong singkat, ngetik singkat. Dia pake ESIA apa ya kena pulsa per-hurup."
"Akutuh gak bisa dijutekkin," gerutu Arella, lagi.
Ia langsung membalas pesan Ferrel dan mengirimi pemberitahuan di grup kelasnya mengenai siapa yang menemukan jam tangannya. Siapa tau cowok, bakalan dia jadikan pacar, kalau cewek, mau dijadikan teman dekat.
Tak lama setelahnya mengirim pesan, Arden datang dengan satu helm di tangan kanannya dan berhenti tepat di hadapan Arella.
"Mau pulang apa nggak?" tanya Arden, dengan ekspresi datar. Rambutnya terlihat sedikit acak-acakkan sehabis memakai helm. Ia ngacak-acak lagi rambutnya, berharap setidaknya malah sedikit lebih rapi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Arden
Arella mendengus, kemudian bangkit dari duduknya dan tak mengatakan apa-apa, malas betul menghadapi adiknya yang seperti batu es.
Ia melangkah mendahului Arden dan duduk di jok motor sebelum Arden sempat duduk di depannya.
"Sini kuncinya," pinta Arella, menengadahkan tangannya ke arah Arden yang tengah mengerutkan alisnya.