Chapter 11 : Best Laid Plans

93 11 4
                                    

I thought, I saw a man brought to life

He was warm, he came around and he was dignified

He showed me what it was to cry

(Natalie Imbruglia)
.
.
.

Aku mengiyakan ajakan Harry waktu itu untuk menjalankan pesta. Entah pesta untuk merayakan apa. Reaksi Harry saat aku menyetujui usulannya dia tetap bertingkah acuh, dan ketika aku bertanya tujuan dari pesta itu, Harry malah melotot padaku dan pergi begitu saja. Yah, terserahlah dia mau melakukan apa, aku toh datang bukan untuk berpesta tapi menggoda Harry. Ya, ya, ya... sebut aku jalang atau sejenisnya. Itu terserah... aku tidak mau lagi peduli apa kata orang.

Saat Harry pergi, aku baru sadar kalau kelas sudah benar-benar kosong. Aku membereskan beberapa alat tulis dan buku yang masih tergeletak bebas di mejaku. Tiba-tiba pintu terbuka. Aku memperhatikan siapa dalang utamanya tapi setelah semenit tak memunculkan wajahnya, aku kembali fokus pada pekerjaanku.

Aku berjalan agak getir untuk keluar dari kelas, insting aneh ku bilang kalau ada yang tidak beres. Benar saja di depan pintu kelas berdiri dua orang wanita membawa gunting dan sedang murka. Dua orang ini lagi... mereka sedang membalas dendam. Sejak kedekatanku dengan dua dari anggota terhormat 5SD, korban bulan-bulanan siswi berganti jadi mereka berdua.

Britt mendorong bahuku kencang hingga aku mundur, di tangan kanannya ada gunting yang terbuka lebar. Sedang Cassie ada sibuk berjaga di depan pintu.

"Jalang! Kau sungguh wanita paling menjijikkan yang pernah aku tahu, kau tahu?"

Aku meringis kencang saat tangan dia menarik kencang rambutku secara berlebihan. Dia mendekatkan gunting itu ke depan mataku, "Kau mau mati, huh?"

Bukannya takut dengan ancaman itu, aku malah tertawa, "Terima kasih kalau kau bersedia membantu."

Dia tambah kesal karena ancaman itu gagal, sayang sekali dia menjatuhkan gunting tajam itu. Dia malah mencengkeram kuku tajamnya ke daerah sekitar rahangku.

"Oh... jadi pelacur kesayangan sekolah ini mau mati cepat, huh?"

Aku mengangguk mengungkap fakta. Kalau aku mati cepat toh mereka akan senang karena gangguan mereka sudah lenyap. Akan seperti simbiosis mutualisme, karena aku mati pun punya tujuan.

"Sayangnya..." dia kembali mendorong tubuhku dengan jari telunjuknya tepat di dadaku, "aku..." sekali lagi aku mundur, "tak mau..." dua langkah aku mundur, "Jadi..." dia berhenti dan aku pun ikut berhenti. Mata dia penuh dengan kebencian, atau kehampaan, mukanya mendadak kosong seperti telah diisap Dementor.

"Pembunuh?"

Niat baikku untuk meneruskan kalimat tanggung itu malah berbuah satu tamparan kencang membuat aku terhimpit di tembok persis sebelah jendela, aku jadi bisa merasakan semilir angin menyapa lembut rambut dan pipiku. Aku suka dengan ini.

"Aku hanya mau menambahkan ucapanmu, kau pasti mau bilang pembunuh, 'kan?"

Britt makin murka. Kembali dia menamparku. Tamparan bolak balik dengan intensitas dua kali lebih kencang dari tamparan sebelumnya. Aku merasa pipiku serasa terbakar, aku juga bisa merasakan darah dari keluar dari sudut kiri bibirku. Ada rahasia tentang masa lalu Britt yang berhubungan dengan pembunuh aku rasa, tapi sungguh aku tidak mau ikut campur. Setiap orang punya masalah hebat, tapi bagiku, hanya aku yang mempunyai masalah paling berat di dunia ini.

Amukan Britt semakin kencang. Dia bahkan memukul kepalaku ke tembok seolah aku sebuah paku dan pukulan dia adalah palu. Cassie datang terbirit-birit, dia mencoba melerai tindakan Britt yang sudah kerasukan amarah mendalam.

"Hentikan. Sudah cukup! Dia bisa mati!"

"Dia bilang tadi dia ingin mati!"

"Britt, ayolah... kau sudah keterlaluan. Dia benar-benar bisa mati!"

"Aku tidak peduli."

Cassie tak berhenti merengek memohon sahabatnya, dan aku merasa kepalaku kian terasa berat. Lututku melemas tak bisa menyangga berat badan lagi, aku jatuh terduduk. Dan Britt melanjutkan siksaan kenikmatan itu dengan menendangku. Rasanya aku punya formula baru agar aku bisa mengembalikan kesenanganku, aku harus sering-sering berbicara tentang pembunuh ke Britt agar dia bisa meyiksaku dan agar aku bisa kembali bernapas... dalam kesakitan dan kebahagiaan.

"Tolong. Kau bisa jadi pembunuh." tendangan itu terhenti. Dia menatap Cassie seperti saat dia menatap aku, kobaran api kebencian menyala. Tapi karena Cassie adalah sahabat satu jiwanya, dia tidak melakukan tindakan apapun pada Cassie. Dia hanya mendelik sebal dan melenggang jauh.

Seketika itu pula kebahagiaan yang aku rindukan lenyap. Tapi tak apa, aku masih bisa merasakan kesakitan yang luar biasa di kepala dan tulang rusukku.

Sebelum mataku tertutup kalah oleh rasa sakit, pria berambut merah masuk ke kelas. Dia begitu kaget melihat badanku yang remuk, "Siapa yang melakukannya? Bilang padaku!"

Aku menggeleng lemah, mustahil aku mengadukan Britt. Yang layak untuk disakiti adalah aku, Britt layak untuk melakukannya karena aku sudah mengambil alih perannya.

"Shit! Aku akan panggil Harry dan melacak dalang semua ini, biar dia yang urus."

Aku menahan tangannya, tenagaku sudah diambang batas tapi aku masih berusaha bicara. "Panggil Luke, biar Luke yang membawaku. Jangan beritahu Harry."

Mike menurut, ponselnya tersambung dengan nomor Luke. Setelah kalimat pembuka Mike yang bilang aku hampir jatuh pingsan karena dipukul keras, suara Luke langsung menggelegar hebat. Dia marah dan murka, aku bahkan bisa mendengarnya dengan jelas. Umpatan kasar terdengar.

"I don't know. She won't tell me."

Lalu ponselnya diberikan padaku, "Dia ingin bicara."

Aku kembali menggeleng dan mataku pun terpejam tak kuat untuk berdiri tegak lagi.
Alasanku menghubungi Luke sangat sederhana, aku ingin menggoda dua pria itu dengan dua tingkah yang berbeda. Aku akan tampak bahagia dan menggoda di depan Harry tapi aku akan merebut hati Luke dengan kisah hidupku yang pilu. Harry akan jatuh hati dengan sikap menggodaku, dan Luke akan jatuh hati dengan rasa iba terhadapku. Rencana yang sempurna, bukan?

***

Lonely LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang