Chapter 1 : Desperate #1

267 18 1
                                    

You're reachin' out,

And no one hears your cry.

You're freakin' out again

'Cause all your fears remind you.

Another dream has come undone.

You feel so small and lost

Like you're the only one.

You wanna scream,

'Cause you're desperate.

(David Archuleta - Desperate)

Aku memejamkan mataku mencoba meresapi tindakan yang tengah kulakukan. Rasanya seperti aku tengah berlari di kecepatan angin, aku bisa terbang. Aku lega. Aku bebas.

Mataku terbuka memandang aliran darah yang menguar dari pergelangan tanganku. Semuanya sangat menyenangkan. Menyiksa tubuh adalah salah satu kegiatan favoritku. Tubuhku sudah tak diperlukan di dunia, percobaan bunuh diri sudah sering gagal, jadilah aku menyayat pergelangan tanganku tiap malam. Membalas dendam pada tubuh tak berguna ini. Meluapkan emosi yang selalu kupendam tak berani kukeluarkan.

Kedua pergelangan tanganku mempunyai bekas luka sayatan cukup banyak. Di sekolah aku selalu memakai sweater hitam, tak peduli di cuaca apapun. Ah, mungkin ini juga salah satu alasan aku disebut tidak layak di sekolah itu, selera berpakaianku sangat payah. Tapi lebih baik menutupi bekas luka akibat tingkah gilaku daripada harus memamerkan pada semua orang kalau aku suka menyiksa diriku. Jika aku menunjukan pada orang lain hobi ganjilku, aku yakin mereka akan memperlakukanku lebih buruk. Begini saja logikanya, aku saja tak menghargai tubuhku sendiri bagaimana coba dengan orang lain?

Tingkah gilaku bermula sejak aku pindah ke Sydney. Terlalu banyak masalah keluarga yang menumpuk, dan pertemuanku dengan Luke yang akhirnya membuat bencana di sekolah. Semua masalah itu terlalu berat untuk kupikul seorang diri dan aku butuh pelampiasan.

Kebetulan saat itu di saat titik depresiku mencapai puncak, aku melihat pisau buah tergeletak manis di meja rias yang tak pernah kugunakan. Aku langsung meraih pisau kecil itu dan mulai melakukan aksiku yang hingga kini tetap berlanjut. Menyakitkan memang, tapi dengan kesakitan ini aku bisa setidaknya melupakan kesakitan yang aku rasakan di hatiku, di kepalaku, di pikiranku.

Hanya Helen yang peduli denganku. Sudah kubilang bukan dia pekerja rumahku? Helen bekerja sejak aku pindah ke Sydney, tapi dia sudah seperti sosok ibu yang selalu kudambakan. Dia yang sering mencegah tindakan bunuh diriku, ah, mungkin kalau Mom yang melihat aku berniat bunuh diri pasti lain ceritanya. Pasti Mom akan tersenyum puas dan berkata, "Kenapa tak kau lakukan sejak dulu?"

Tapi Helen, dia orang yang sangat baik. Hanya dia yang sudi mengajakku berbicara tanpa tatapan sinis. Hanya dia yang memberikanku senyuman tulus yang tak pernah kuraih.

Ketika Helen memergoki tindakan melukai tanganku untuk pertama kalinya, dia sangat kaget. Air mata mengalir di pipinya, dia berlari menuju tempatku dan menangkupku dalam pelukan hangatnya. Dia membelai punggungku mencoba memberikan kekuatan padaku yang tengah terisak menatap nasib menyedihkanku.

Malam ini mungkin tidak akan ada Helen, karena pintu kamar sudah kukunci. Aku butuh kesendirian. Aku butuh pelampiasan. Aku butuh perasaan senang itu. Tindakanku memang ganjil, tapi aku senang melakukannya bahkan ketika darah mengalir senyumku terus berkembang.

Ah iya, aku lupa memberitahu kalian. Mom pernah memergoki tanganku yang penuh sayatan tapi (lagi dan lagi) dia hanya menatapku sesaat tanpa ekspresi dan langsung pergi.

Helen memang sering memperlakukanku seperti anaknya tapi aku ingin Mom memperlakukanku layaknya anak. Anak yang butuh pelukan hangat darinya. Anak yang akan selalu butuh kasih sayang darinya.

Entah sudah berapa banyak darah yang mengalir, tapi aku puas. Senyumku tak pernah lepas. Aku menidurkan badanku di kasur, memejamkan mataku. Berusaha tertidur dalam keadaan menyenangkan ini, dan berharap mendapat satu kali saja mimpi yang benar-benar indah.

#####

"Apa dia belum bangun?" Itu suara Mom. Jadi Mom sudah pulang? Apa akhirnya dia mencariku. Untuk pertama kalinya aku sedikit bersemangat, aku berjalan sedikit cepat menuju asal suara yang terjadi di dekat meja makan itu.

"Mom." Sapaku dengan penuh senyum. Aku memang tak pernah mendapat kasih sayang dari Mom tapi aku sangat menyayanginya. Sangat.

Mom menatapku sekilas lalu melihat bekas luka di pergelangan tanganku, lalu menatapku sekali lagi, "Kau harus ke psikiater."

"Untuk apa?" Aku memang sudah tahu jawabannya. Tapi aku tak mau kalau jawabanku yang benar. Aku tak mau Mom menyangka aku gila. Aku masih sangat sehat!

"Tentu saja untuk dirimu!" Mom menaikan suaranya, lalu kembali memandang Helen, "Kau saja yang mengantarnya, aku sedang ada banyak tugas di kantor."

Helen mengangguk, matanya memandangku penuh keprihatinan, "Baik, Ma'am"

Setelah itu, seperti biasa, Mom pergi tanpa sekalipun memandangku lagi. Tak menoleh meskipun aku terisak sangat keras.

"Cher, kau baik-baik saja?"

Aku menggeleng dengan isakan kencang. Akhir-akhir ini aku merasa lemah sekali, aku selalu menangis, menunjukan kelemahanku di depan orang lain. Mungkin sekarang hanya Helen yang menjadi saksi air mataku keluar, tapi siapa yang akan tahu esok hari? Mungkin aku akan kelepasan dan menangis di depan murid-murid lain. Dan itu akan menjadi masalah baru. Mereka pasti akan menindasku lebih ganas karena belum puas melihatku menangis satu kali atau dua kali.

Aku merasakan dekapan hangat tubuh berisi Helen lagi, tapi dekapan ini justru membuat tangisku makin hebat. "Tenanglah, Cher." Itu ucapan kebanggan Helen ketika menenangkanku.

"Ak.. Aku.. Ta.. Tak.. Mau.. Ke.. sa... sa.. na"

"Maksudmu ke psikiater?"

Aku mengangguk sekali, Helen makin mengeratkan pelukannya, "Tapi Ma'am..."

Emosiku memuncak. Kenapa Helen harus selalu menuruti Mom? Kenapa tak ada yang mau menurutiku.

Aku melepaskan diri dari Helen, memandangnya sedikit dingin, "AKU TAK MAU KESANA! PERSETAN DENGAN MOM. KAU LIHAT SENDIRI BUKAN? DIA TIDAK PEDULI PADAKU. DIA TAKKAN PERNAH PEDULI PADAKU. JADI, BUAT APA KAU MENURUTINYA? AKU MATIPUN DIA TAKKAN PEDULI!!!" Jeritku sangat kencang, aku bisa melihat raut kaget Helen melihat emosiku yang naik ini. Yang selama ini Helen tahu aku tak suka berbicara, dan sekarang aku membentaknya. Entah ini bisa disebut kemajuan atau kemunduran.

Helen menangis. Dia memegang lenganku erat, "Kau tak pantas berbicara seperti itu. Kau belum pantas untuk mati. Jangan pernah berbicara kematian di hadapanku, Cher."

Sekarang bukan hanya aku yang menangis, Helen pun menangis kencang. Hebat! Menangispun bisa menular.

Dan hebat untuk kedua kalinya, aku tak harus ke psikiater hari itu.

Bahkan rasanya psikiater takkan bisa memulihkan sedikit saja penderitaanku. Aku terlahir untuk menderita, jadi penderitaan akan tetap ada di takdirku sampai aku mati. Dan aku masih tetap berdoa agar kematianku datang lebih cepat.

Lonely LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang