"Well, rumahmu jauh melebihi dirimu. Kukira kau seorang tuna wisma karena kau sering memakai pakaian kumal." Itu adalah komentar Luke yang saat ini sedang memandang segala penjuru rumah istana ini.
Aku sedikit lega karena Luke otaknya masih berfungsi sebagai mana mestinya. Dia tetap menghinaku walapun dia sedang ada di areaku.
Kita berdua duduk di ruang tamu yang sangat rapi dan bersih. Helen yang melihatku pulang membawa seseorang dan itu adalah pria bereaksi agak berlebihan, dia mencubit tangan dan pipinya membuktikan kalau dia sedang tak bermimpi. Helen juga berkali-kali bersikap ramah pada Luke tapi memang Luke tak suka bicara jadi Luke hanya menjawab dengan satu anggukan atau satu gelengan.
"Wanita cerewet itu ibumu?" Tanyanya ketika Helen pergi ke dapur mengambil minuman dingin dan makanan kecil.
Aku menggeleng cepat, "Bukan, dia pekerja di rumahku yang masih menganggapku manusia."
Alis Luke terpaut heran, aku buru-buru mengoreksi ucapanku. "Lupakan saja. Anggap tadi aku tak bicara apapun." Kataku yang segera mengutuki kebodohanku yang tak bisa mengontrol kata-kata.
Mungkin karena Luke orang kedua yang aku ajak bicara sedekat ini (setelah Helen), makanya aku bisa jadi sekikuk dan sebodoh ini. Lama-lama aku bisa membicarakan hal-hal pribadiku dengan orang ini! Jaga pikiranmu dari dia, Cher! Dia pemangsa jahat, dia membencimu sama seperti orang lain, jangan terlalu dekat dengannya.
"Dimana orangtuamu?" Tanyanya lagi setelah beberapa menit situasi dimakan oleh kesunyian.
Aku menoleh memandang Luke yang menatapku agak penasaran, "Sedang tak di rumah."
"Apa pekerjaan ayah dan ibumu?"
Dengan jengkel aku terpaksa menjawab, "Ibuku seorang pengusaha dan ayahku entah ada dimana. Tolong sekali, jangan bahas keluarga disini. Kau ingin kita belajar kelompok, mari kita lakukan itu!" Seruku tajam lalu mengeluarkan buku kimia yang dibutuhkan dari ranselku.
Luke terdiam sejenak lagi, aku sibuk membaca selembar kertas sebagai tugas kimia kali ini. Aku mencoba menulikan telinga dan membutakan diri, dan menganggap Luke hanya daya khayalku yang tak mungkin nyata dan duduk bersamaku.
Semua itu buyar setelah Luke kembali berkata, "Kau tak mengganti bajumu?"
"Nanti saja."
"Aku tahu, pasti ibumu tak pernah mengajarimu cara berpakaian? Lihatlah sekarang cuaca sangat cerah dan kau masih mengenakan sweater dengan jeans kebesaranmu itu? Kalau ada kontes perempuan yang paling payah berpakaian pasti kau akan jadi juara."
Aku tersenyum mememandangnya lega karena Luke sudah kembali ke sifat dasarnya, "Kau tepat sekali. Tanpa ada kontes itu pun, aku tetap akan menjadi gadis terburuk yang pernah tercipta."
"Kau tahu kenapa semua orang tak ada yang suka denganmu?" Tanyanya dengan mata biru yanh tajam.
Itu karena dirimu, bodoh!
Aku mengumpatnya dalam hati tapi suaraku mengeluarkan kalimat yang berbeda, yang aku yakini lebih menggambarkan kenyataan saat ini. "Karena aku adalah aku."
"Well, itu mungkin salah satunya. " Luke sedikit berdeham sambil mengacak rambut belakangnya, ada apa sih dengan cowok ini? "Tapi, asal kau tahu saja - "
Ucapan Luke dihentikan suara bel pintu. Bel pintu termasuk suara yang paling aku benci, aku benci karena setiap kali suara itu keluar, tidak ada yang pernah mencariku. Waktu kecil suara bel pintu adalah harapanku, harapan agar Mom pulang lalu memelukku, seperti kelurga normal. Tapi normal tidak akan pernah sudi datang mengetuk suasana rumahku.
"Biar aku yang buka. " Kata Luke cepat-cepat lalu berlari secepat kilat ke pintu rumah. Begitu suara bel terdengar aku tadi melihat wajah Luke agak sedikit tertekuk. Apa itu tamu Luke, tapi ini rumah Mom!
Karena dilanda penasaran, aku membawa kakiku ke ruang depan. Aku tak berharap ada yang mencariku, paling juga dari orang kenalan Mom atau Helen.
Tapi sekarang lihatlah yang terjadi!
Sosol bermata hijau dengan rambut ikal dan seringai khasnya berdiri menghadap Luke. Melihat keberadaanku, ia langsung tersenyum. Harry menubruk bahu Luke sengaja dan mendekat ke arahku. Aku yang dihujani jutaan pertanyaan kenapa kaki itu bisa sampai ke lantai rumahku hanya bisa diam. Aku bahkan lupa bagaimana caranya berbicara.
Harry makin mendekat, wajahnya kini persis di depanku. Aku refleks menutup mata, aku tahu apa yang selanjutnya akan terjadi. Pasti Harry akan menamparku, selalu seperti itu.
Sesuatu yang asing menyentuh pipiku, agak dingin tapi sanggup memanaskan wajahku apalagi napasnya terasa begitu nyata. Begitu kubuka mata, hal yang tak pernah terbayang di imajinasi paling liarku terjadi. Aku selamat dari pukulan Harry tapi sekarang aku dicium Harry Styles! Keadaan yang seratus kali lipat lebih buruk.
Luke meradang, tiba-tiba menarik paksa tubuh Luke dan meninju wajah Harry sangat kencang, aku bisa melihat sedikit noda darah di ujung bibir Harry.
"Apa maumu, brengsek! "
Harry yang tetap diam hanya menyeringai, dia membersihkan luka di bibirnya seperti tak ada masalah. "Aku hanya ingin mengulang masa lalu. "
Luke menarik tubuh Harry di lantai, menarik kerah kemeja Harry tak ada ampun. "Tak bakalan ada masa lalu yang terulang. "
Harry mendengus kini matanya menatapku, "Lantas kenapa kau mau mengulang masa lalumu? "
"Tidak ada masa lalu!"
"Bullshit, kau bisa menyangkal sesukamu tapi ingat aku bakalan merusak masa lalumu yang sudah kelam itu."
"Apa maksudmu? " Cengkraman Luke sangat keras, kalau tidak dihentikan bisa-bisa bakalan ada mayat di rumah ini.
"Kau tahu, aku lebih layak mendapatkan masa lalumu. " Harry mendorong tubuh Luke sangat kencang. Dia kembali mendekatiku, mendaratkan bibirnya ke telingaku, "Aku akan menarikmu ke cengkramanku, ingat itu." Kalimat penuh penekanan itu sangat mengintimidasi.
Apa yang sebenarnya terjadi? Masa lalu apa yang merela bicarakan? Kenapa aku ikut terbawa urusan mereka?
"Apa maksudmu? " Aku membalas perkataan Harry dengan berani. Ini rumahku, setidaknya aku merasa aman disini.
"Bukan urusanmu, jalang! "
Sebelum meninggalkan rumahku dia kembali berbisik,kali ini untuk Luke. Wajah Luke yang begitu pucat belum pernah aku lihat sebelumnya, ekspresi itu terlihat sangat ketakutan? Luke takut pada Harry, tapi mereka sahabat, bukan?
"Ini bukan masa lalu. Masa lalu tidak akan terulang dua kali. Kalaupun terulang, tidak akan kubiarkan kau ikut campur. " teriak Luke tapi sama sekali tak digubris Harry.
Harry melangkah dengan sangat santai, dari keadaan bahunya aku yakin Harry sedang tertawa.
"Bisa kau jelaskan situasi ini? "
Luke menatapku dari atas sampai bawah kemudian dia menggeleng, menggumamkan sesuatu yang kurang terjangkau pendengaranku. Lalu matanya kembali mengeras, "Bukan urusanmu. "
Luke mengikuti jejak Harry. Keluar dari rumahku seakan rumah ini miliknya sendiri.
Beragam kemungkinan tergambar di pikiranku, yang paling masuk akal adalah ini hanya akting mereka. Mereka pasti ingin mempermainkanku, lalu mempermalukanku. Itu adalah hal paling masuk akal, tapi kenapa mata Luke membuatku agak goyah dengan teori ini. Kenapa Luke terlihat sangat kecewa saat dia menatapku?
Apa sih yang takdir mau mainkan pada duniaku?
Takdirku memang selalu tidak baik. Aku yakin peristiwa ini juga akhirnya bakalan membuatku berpikir dua kali untuk hidup. Aku memang pantas untuk dibenci karena aku sendiri benci dengan diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lonely Lullaby
FanfictionCinta adalah kebencian dan Kebencian adalah Cinta. Lingkaran itu takkan pernah berhenti, bahkan ada yan bilang garis antara cinta dan benci sangat tipis bukan? Jadi ya, rasanya itu semua benar. " Apa kau mencintaiku?" "Ya tentu saja" "Sebesar apa...