Sore ini aku ditemani senja oranye yang cerah. Namun dalam beberapa bagian, hujan mulai mengguyur meski senja mentari masih menyembul menyinari hari. Tepat di saat aku turun dari kereta commuter line di salah satu stasiun, hujan menyelimuti sekitar.
Aku yang pergi bersama ibu. Memilih menembus hujan setelah kami cukup yakin hujan tidak terlalu menderu deras. Hanya rintikan. Kami berjalan melintasi hujan dan melewati beberapa anak yang tengah memegangi payung besar sembari berteriak menawarkan kepada penumpang lain.
Kami menuju persimpangan, di mana bus metromini sedang mandek di sana menunggu penumpang sampai mengisi penuh tempat duduk di dalam bus itu.
Untungnya, keadaan di dalam bus sudah cukup ramai. Sehingga kami tidak perlu menunggu terlalu lama. Hanya menunggu satu dua orang penumpang naik, lalu bus itu mulai melaju.
Dari dulu aku suka tempat duduk yang berada di dekat jendela bus. Begitu pun dengan saat ini, aku memilih tempat itu. Memandangi setiap hiruk pikuk yang sudah terbiasa di kota. Juga pemandangan yang hanya bisa dilihat dalam sesi dua atau tiga kali saat perjalanan. Tentu saja, ini kota metropolitan. Tidak banyak pemandangan permadani yang membentang luas menempati hamparan sekitar.
Lagi-lagi aku merenung bersama senja oranye yang tetap menyinari. Dan hujan kini tak lagi ada tetesannya. Pikiranku berseliweran ke sana kemari. Aku merenung tentang diriku sendiri. Dan keyakinan pada kemampuan diri ini. Rasanya aneh, bila sampai detik ini aku masih meragukan diriku sendiri. Tapi, itulah kenyataannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Narasi
NonfiksiSoal kehidupan banyak rasa. Kumpulan narasi ini hanya menjadi penyanding atas rasa yang tertoreh. Mewakili setiap rasa yang kini mencuat di relung hati. Membiarkan aksara demi aksara terlukis indah. Demi merasakan kehidupan ini.