I'm only human
I'm only human
Just a little human
I can take so much
Until I've had enough
(Christina Perri - Human)Suasana perkotaan yang hiruk pikuk dan ramai sudah mulai ditinggalkan mereka semenjak satu jam yang lalu. Di sepanjang jalan hanya terdapat perkebunan sawit. Tidak ada hal menarik lainnya selain pepohonan sawit yang menjulang, syukurnya jalanan tempat mereka melintas sudah teraspal dengan baik. Tidak terbayang jika sepanjang jalan mereka harus berjuang melawan ketidaknyamanan itu. Jalanannya terlalu mulus, semulus keheningan yang merajai mereka selama satu jam belakangan ini.
Ben dan Naima sama-sama enggan memulai pembicaraan lebih dulu. Entahlah, semenjak keberangkatan mereka berdua dari kantor, nampaknya keduanya sama sekali tak berniat menjadi rekan kerja yang baik. Padahal, Ben tahu benar, bahwa untuk melakukan field check semacam ini, keluwesan Naima dalam berkomunikasi sangat diperlukan. Tapi ego dalam dirinya menahannya untuk memulai percakapan.
Naima yang semenjak tadi hanya menatap lurus ke depan, tiba-tiba saja disadarkan dengan suara dering handphone. Ah, pasti panggilan masuk. Ia merogoh handphone yang diletakkannya dalam tas. Ia menahan napas sesaat saat melihat siapa gerangan yang menelponnya.
"Ya, Bu?"
Seharusnya Naima tahu, Bu Bertha itu pasti akan mengontrol pekerjaannya. Apalagi dia ditugaskan menggantikan Bu Bertha. Kira-kira, kali ini Bu Bertha akan membicarakan apa ya? Tadi sebelum mereka pergi, Bu Bertha sempat memberikannya wejangan untuk bersikap ramah pada Ben. Yang Bu Bertha lihat adalah kekakuan yang terjadi antara Ben dan Naima. Tapi yang Bu Bertha tidak tahu adalah alasan dibalik sikap mereka yang seperti itu. Namun, menjelaskannya pada Bu Bertha pun bukanlah solusi yang tepat. Yaampun, kenapa hidupnya sial begini?
"Sudah dimana kalian?" Tanya suara yang dari sebrang.
Matanya melirik ke kiri dan kanan. "Masih di daerah perkebunan sawit, Bu."
"Oh. Kamu tahu kan dimana letak alamat costumer kita? Masih inget?"
"Masih kok, Bu." Ingatannya belum pikun untuk dikategorikan mengingat kejadian setahun silam saat dirinya ditugaskan field check ke tempat ini dengan tim audit yang lain. Tim audit yang bukan dikepalai Ben.
Setahun yang lalu saat Naima baru bekerja enam bulan, Bu Bertha juga yang menugaskannya untuk field check dengan audit. Alasan Bu Bertha saat itu, adalah karena ia baru saja melahirkan dan tak tega meninggalkan anaknya yang baru saja lahir, apalagi field check itu mengharuskannya menginap satu malam. Tahun lalu, dengan semangat kerja yang membara ala-ala pegawai baru, Naima menerima penugasan itu. Tapi sekarang? Heyyy.. semangat kerjanya pun menurun hanya karena mengetahui ia pergi dengan siapa.
Sebenarnya, hal ini tidak perlu terjadi... kalau saja Ben bersikap baik padanya. Tapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Jurang seperti menganga lebar bagi mereka, memisahkan dua kubu yang berlawanan.
"Bagus kalau kamu masih inget. Oh ya Na, jangan kecewakan saya ya! Saya sih nggak tahu apa yang buat kamu bersikap dingin ke Ben. Tapi yang saya dengar dari anak-anak katanya kamu mantannya, ya?"
Naima menahan napas sesaat. Ya Tuhan, ujian apalagi ini? Lihat, betapa cepatnya pemberitaan itu menyebar.
Dengan sedikit kaku, Naima menjawabnya, "Nghhhmm.. begitulah, Bu." Kini ekor matanya nampak melirik ke arah Ben. Ben yang sejak tadi mengemudikan mobil dengan tenangnya nampak tetap fokus pada setirnya.
"Naima, saya hanya mau mengingatkan, tolong jangan campuri urusan pribadi dan pekerjaan. Diluar kantor kamu boleh bersikap sedingin mungkin pada Ben. Tapi tidak di lingkungan kerja. Kamu mau performance cabang kita menurun hanya gara-gara kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Return
ЧиклитHidup Naima tidak pernah mudah sesudah kepergian Ben. Kepingan kebahagiaan yang ia serakkan selalu saja tanpa permisi merangkai dalam setumpuk kenangan lewat pikirannya. Dan sebagai seorang pria yang mencintai Naima, Geribaldi selalu optimis.. bahwa...