9. When Love and Hate collide (2)

404 27 3
                                    

Without you
One night alone
Is like a year without you baby
Do you have a heart of stone
Without you
Cant stop the hurt inside
When love and hate collide
Deff Lappard - When love and hate collide

"Makasih ya, Na, udah nganterin aku pulang." Sarah turun dari motor Naima lantas melepaskan helmnya dan mengapitnya dengan tangannya.

"You're welcome, Tuan Putri." Naima membalasnya dengan satu senyuman.

"Jangan panggil Tuan Putri dong, jadi rasanya kayak perempuan yang nggak bisa ngapai-ngapain. Yah, walaupun.. bener sih, memang nggak bisa ngapa-ngapain. Maksudnya nyetir kereta."
(Note: di medan sepeda motor disebut kereta).

"Makanya belajar, dong."

Sarah mengangguk setuju. "Kepengennya sih. Tapi yang ngajarin siapa?"

Pandangan Naima menerawang kesana kesini seperti memikirkan sesuatu. Lalu tiba-tiba ide jahil tercetus di pikirannya. Seperti ada lampu pijar yang menyala diatas kepalanya, cepat-cepat ia memberikan ide. "Gimana kalau Harris aja?"

"Ngaco! Jangan sembarangan deh." Kata-katanya terdengar menolak tetapi wajahnya bersemu merah manakala Naima menyebut nama Harris. Dan Naima cukup paham perbedaan kontras yang nampak dari Sarah itu. "Eh tapi... si Harris memangnya bisa bawa kereta ya?" Sarah menurunkan nada bicaranya, seolah ada rahasia penting yang akan dia sampaikan.

"Ck! Kalau mau bilang... biar ditelfon nih..." Naima segera mengeluarkan handphonenya, lagaknya seperti mencari-cari info kontak dari handphonenya. Sontak Sarah segera menghentikan aktifitas Naima, hal yang akhirnya membuat Naima sendiri senyum-senyum sendiri pada akhirnya.

"Kenapa?" Naima akhirnya mengeluarkan kalimat andalannya. Pertanyaan yang sebenarnya dia sudah tahu apa jawabnya.

"Eh! Ya malulah masa cewek yang nelfon cowok. Harga diri aku kemana?!"

Naima yang sejak tadi hanya bisa tersenyum geli akhirnya ia meledakkan tawanya sembari menggelengkan kepalanya. "Cieee! Yang berharap ditembak Harris. Duh.." ia mencolek dagu Sarah sekilas.

Sarah berdecak kesal sambil menyingkirkan tangan jahil Naima. "Apaan sih, receh banget bercandaannya."

Sebenarnya, yang terbiasa untuk bercandaan receh seperti ini ya Sarah. Sarah yang seringkali menjadi biang keladi keributan di kantor. Tapi entah kenapa sekali ini, Naima begitu ingin menggoda Sarah. Sarah si cewek hebring. Kalau tidak ada dia, suasana kantor bisa dipastikan sunyi senyap dan entah kenapa semua seperti terserang virus work holicnya Naima. Keberadaan Sarah sebagai sahabat Naima benar-benar menjadi penyeimbang hidupnya. Sarah yang heboh mampu mengisi hari-hari Naima yang penuh dengan keteraturan. Sarah yang suka bercanda mampu mengisi hari-hari Naima yang penuh keseriusan. Sarah yang gemuk mampu menjadi penyeimbang Naima yang langsing dan semampai... Eh...

Bukankah seharusnya seperti itu sahabat? Saling mengisi.

Bukankah sahabat adalah orang yang bercandaannya menjadi tidak penting saat bersama tetapi bisa jadi sesuatu yang dirindukan saat sudah saling berjauhan?

Dan bukannya sahabat itu, tidak akan pernah marah sekalipun ia mengusik hal yang paling pribadi dalam hidupmu? Dengan tujuan untuk membantu menyadarkanmu?

"Berhenti bahas aku dan Harris. So, how are you, Na? Apa itu yang kamu mau dari Ben?" Tiba-tiba Sarah nyeletuk. Bagaimana bisa dari Harris... tiba-tiba jadi ke... Ben?

"Ha?"

Sarah berusaha menahan kesabarannya. Perlahan ia memperbaiki letak handbagnya dan mengambil jarak sedekat mungkin dengan Naima. Naima yang masih duduk diatas motornya, hanya bisa melihat Sarah dengan berjuta pertanyaan: Okey... what's wrong with you, Sar? Please jangan bilang apa-apa. Please anggap kamu nggak tau apapun. Aku lagi nggak mau bahas ini.

ReturnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang