I remember all of the things that I thought I wanted to be
So desperate to find a way out of my world and finally breathe
Right before my eyes I saw, my heart it came to life
AdeleRuangan hotel yang lebih mirip motel ketimbang hotel itu tampak begitu sederhana. Malahan kalau boleh jujur, rumah kontrakan Naima lebih baik daripada ini. Tapi apa mau dikata, Naima harus pasrah dengan keadaan. Namanya di pinggir kota--yang sebenarnya lebih tepat disebut kota kecil-- mana ada hotel berbintang yang dibangun di tempat ini. Ini sih judulnya saja hotel tapi di dalamnya ya motel.
Naima mendaratkan bokongnya diatas tempat tidur di kamar itu. Ia menarik napas perlahan lalu merebahkan dirinya diatas tempat tidur, pandangannya menerawang ke langit-langit kamar. Setidaknya, kamar hotel ini cukup bersih untuk ditempati, itu sudah cukup sebagai pelipur hati Naima.
Dan.... oh ya.... fasilitas air hangat. Semoga saja ada! Naima benar-benar perlu ini, seharian duduk di dalam mobil dan bertemu pihak keluarga costumer benar-benar membuatnya lelah.
Naima segera mendudukkan dirinya dan berjalan menuju kamar mandi. Seharusnya sih ada ya....
Wajahnya berubah sumringah manakala dilihatnya kran shower berwarna merah dan biru. Oh thanks God! Tapi siapa sangka.... keceriaan hatinya tak bertahan lama. Belum sempat dia membasuh dirinya, kran pemutar air hangatnya malah bermasalah. Tidak bisa diputar! Yasalam...
Naima mencoba memutarnya sekali lagi, berharap kalau yang barusan terjadi adalah kerusakan semu. Tapi percuma... semua sia-sia. Hah.... Naima mulai memberengut kesal, bertambah sudah kekesalan hatinya hari ini. Masalah pekerjaan belum selesai, ditambah lagi dengan kerusakan kran air hangat. Ini tak boleh dibiarkan, semua kesalahan Ben, dan dia rasa, Ben harus bertanggung jawab dengan ini. Bagaimana tidak, kalau saja Ben tidak mengambil tindakan yang disebut pulang cepat itu, pasti situasinya tidak akan begini. Pasti mereka bisa pulang hari ini tanpa harus menginap disini.
Naima menghentakkan kakinya, berjalan hilir mudik di ruangan yang tidak terlalu besar itu, memikirkan sesuatu bagaimana caranya untuk menenangkan dirinya kalau sudah begini. Merasa seperti mendapat ilham, sejurus kemudian ia menyambar handuk dan pakaian gantinya--yang untungnya dibawanya untuk jaga-jaga-- kemudian ia keluar dari kamar penginapannya dan bergegas menuju kamar disebelahnya, itu kamar inap Ben. Dia mengetuk dengan kuat pintu kamar Ben. Masa bodoh, dia mau meluapkan emosinya sekarang. Naima terus mengetuk sambil berteriak memanggil nama Ben. Beberapa orang nampak keluar dari kamar mereka, mencoba melihat sebenarnya keributan apa yang terjadi diluar kamar mereka.
"Berisik amat sih! Ngapain gedor-gedor pintu kamar orang?" Ben keluar dengan mengenakan celana boxernya sementara handuk mandinya disampirkan dibahunya. Naima menduga mungkin pria yang ada dihadapannya ini baru selesai mandi.
Enak banget dia udah mandi, sementara aku masih kesulitan untuk mandi aja.
Tanpa ijin si penghuni kamar, Naima menerobos masuk ke dalam kamar Ben. Dia melipir ke dalam kamar mandi kamar Ben.
"Eh.. eh.. ngapain masuk?" Ben memprotes sambil mengikuti kemana arah Naima berjalan, tapi sepertinya Naima tak ambil peduli. Ia justru memutar kran mandi Ben dan memastikan apakah kran air panasnya berfungsi dengan baik. Tetes demi tetes air hangat jatuh menemui kulit telapak tangannya. Naima tersenyum lega. Syukurlah.
"Ngapain kamu? Mau nguntit ya?" Ben menyilangkan tangannya di depan dadanya sambil bersandar pada daun pintu kamar mandi. Mendengar suara Ben otomatis membuat Naima menjadi kesal kembali, dia baru ingat tujuan awalnya ke tempat ini... untuk memarahi Ben, kan?
Segera Naima memutar tubuhnya dan berjalan mendekati Ben. Napasnya mulai terdengar memburu, seperti orang yang habis berlari marathon. Itu karena dia sedang kesal saat ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Return
ChickLitHidup Naima tidak pernah mudah sesudah kepergian Ben. Kepingan kebahagiaan yang ia serakkan selalu saja tanpa permisi merangkai dalam setumpuk kenangan lewat pikirannya. Dan sebagai seorang pria yang mencintai Naima, Geribaldi selalu optimis.. bahwa...